Merayakan Kekalahan


Malam itu, di sebuah kafe di Selatan Jakarta, perempuan di hadapanku memulai percakapan. Sebuah percakapan yang tak menyenangkan, tentang cinta diam-diam dan perpisahan tanpa ucapan. Untuk merayakan perpisahan, merayakan kekalahan, katanya sambil mengangkat gelas berisi orange juice ke atas, aku tak mengikuti keinginannya untuk toss, kubiarkan dia mengangkat gelas itu sendirian lalu meneguknya. Seteguk perpisahan, seteguk kekecewaan dan entah apa saja yang larut bersama tegukan itu.
“Perempuan begitu hebat. Dia bisa melepas seseorang yang bahkan belum dimiliki. Mencintai diam-diam lalu pergi dengan sunyi.”
Dia memalingkan wajahnya sesaat setelah mengatakan itu kepadaku. Menatap pemain band yang berada di panggung membawakan lagu-lagu cinta. Air matanya jatuh satu-satu lalu menderas, membuat riasan di wajahnya luntur. Kusodorkan tissue, dia menolak. Tak apa, aku baik-baik saja, kesan itu yang kutangkap saat dia mendorong halus tissue yang kuberikan. Dia menyeka wajahnya dengan bajunya, mengambil botol birku dan menenggaknya. Bir terasa lebih menggoda saat seperti ini, katanya sambil mengambil alih birku lalu menengguknya dan menghabiskanya.
Jika perempuan ini bercerita padaku beberapa bulan lalu, mungkin aku tak akan paham, bagaimana bisa kita melepas seseorang yang belum atau tidak pernah kita miliki. Seperti sebuah ilusi, seperti kisah fiksi.
Tapi, sejak bertemu dia – perempuan berwajah oriental itu- aku paham, ada kisah lain selain kebersamaan dan perpisahan. Cinta diam-diam. Seperti kisah-kisah lain yang tak berakhir dengan bahagia, aku menyumbangkan satu kisah di dalamnya. Sebuah perpisahan yang sunyi, tanpa kata, tanpa ucapan bahkan tanpa pernah disadari.
Dan, perayaan tak selalu tentang kemenangan tapi juga kekalahan.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar