Seseorang di hadapanku melemparkan sebuah pertanyaan yang membingungkan. Lelaki tua, memakai tudung, mengenakan baju tanpa lengan yang warnanya sudah memudar. Tangan kanannya membawa dayung yang diletakkan di atas bahunya. Celananya pendek, seperti terpotong atau sengaja dipotong, yang jelas, celana itu sudah aus dimakan waktu.
Ada pancaran aneh pada wajahnya, semacam
cahaya yang berkilau. Sesaat, kupikir dia malaikat. Tapi, kenapa malaikat tidak
bersayap, mengenakan jubah putih dan sedikit melayang. Jika dia iblis, kenapa
wajahnya tidak seram, tidak ada tanduk di kepalanya dan berwarna hitam. Aku masih
tidak mengerti, siapa lelaki ini, malaikat atau ibliskan atau lelaki tua yang
tersesat.
“Saya kalah lalu menyerah atau saya menyerah
lalu kalah. Keduanya tidak penting lagi, tidak berarti. Saya kalah, saya
menyerah, dan mati,” kataku.
“Kamu suka pantai?” tanyanya tanpa memedulikan
pertanyaanku.
Lelaki itu mengayuhkan dayungnya. Ke kiri, ke
kanan, lalu ke kiri dan ke kanan lagi. Aku tak tahu berapa kali dia
menggoyangkan dayungnya. Tiba-tiba sekelilingku menjadi terang, kabut tebal
menghilang dan aku sudah berdiri di bibir laut. Aku menggerak-gerakkan kakiku,
menendang-nendang halus pasir putih, membiarkan anak-anak ombak menyentuh ujung
jemari kaki, membiarkan kakiku basah.
Lelaki tua itu tersenyum kepadaku,
telunjuknya mengarah ke tengah laut, seperti isyarat, hei lihat di sana, dan
mataku mengikuti arah telunjuknya. Menatap tengah laut, melihat cahaya matahari
memantul di atas air dan membuat air serupa warna emas, kuning berkilau. Aku
tak mengerti, aku berupaya mencari jawaban, menatap lelaki itu lagi. Tapi, dia
bergeming. Tangannya tetap menunjuk tengah laut, seperti memintaku untuk terus
memerhatikannya dan tidak memprotesnya.
Laut mulai menampilkan bayang-bayang samar
seperti layar televisi yang dipenuhi semut-semut. Bayang-bayang itu
perlahan-lahan menjadi jelas, menampilkan empat orang manusia yang sedang duduk,
di tengahnya, seseorang sedang tertidur ditutup kain. Aku mengenali wajah-wajah
itu, wajah ibuku, bapakku, kakakku dan adikku. Yang membuatku bingung, siapa
lelaki yang tengah tertidur dan tertutup kain itu.
Ibuku membuka kain yang menutup wajah itu,
mengecup keningnya dan memeluk tubuhnya. Ayahku diam, wajahnya mengeras,
tangannya mengepal dan pergi. Kakakku dan adikku mengikuti apa yang ibuku
lakukan. Wajah yang tertutup kain itu adalah aku, laki-laki yang telah kalah,
laki-laki yang menyerah dan memutuskan mengundurkan diri dari hidup. Aku,
laki-laki yang sering mengajukan surat resign hidup kepada tuhan, namun
selalu tuhan tolak. Entah pada kali keberapa, aku tak sanggup lagi dan
mengundurkan diri tanpa seizin-Nya.
“Kamu lihat wajah-wajah itu, wajah-wajah yang
mencintaimu. Wajah-wajah yang selalu mengharapkan kebahagiaanmu, yang
menerimamu saat kamu jatuh dan tidak menuntut apa pun saat kamu bahagia. Wajah-wajah
yang selalu membuka hati mereka untukmu, kapan saja kamu pulang.”
“Bisakah aku kembali ke mereka. Aku akan
memperbaikinya, sekali saja, sebentar saja tak apa,” kataku mengiba.
“Kamu sudah menyerah.”
“Tidak, aku hanya kalah.”
“Hidup ini pertempuran tiada akhir. Jika kamu
kalah, kamu bisa bangkit dan kembali berjuang. Tapi kamu memilih menyerah dan
dunia ini tidak cocok untuk orang yang menyerah.”
0 comments:
Posting Komentar