Sinar matahari sore
menyusup melalui celah-celah dedaunan, jatuh menghampar di atas meja, membuat
garis-garis oranye di sana. Setelah kata 'hai' yang ragu-ragu, tak ada lagi
kata yang mengikuti setelahnya. Beberapa kali mulutnya membuka, hanya udara
yang keluar. Kata-kata seperti terdorong kembali ke tenggerokan.
"Aku . . . aku
ingin kita baik-baik," katanya, patah-patah. Ada ragu dari nada bicaranya
dan tatapannya yang sedari tadi tertumpu ke meja menegaskan keraguan itu.
Jalan, meja, dasar
gelas, jendela, pramusaji yang mengantar pesanan, orang lalu-lalang menjadi
suaka pelarian dari tatapannya.
"Aku ingin kita
kaya dulu," ucapnya lagi, kali ini dengan penekanan berbeda dari
sebelumnya dan tatapannya, kini beralih menatap langsung ke mataku.
"Saya nggak bisa
membiarkan kamu terus-menerus bertamu ke hidup saya, lalu pelan-pelan menjadi
penghuni tetap. Menetap versi saya dan kamu jelas berbeda."
"Berbeda?"
"Ketika kamu
datang terus-menerus, membawa semua-semua hidupmu, sejak hari itu, saya akan
berpikir, kamu memilih saya sebagai tempatmu berpulang. Tapi versi menetap
bagimu berbeda, kamu hanya menetap sampai kamu mendapat rumah yang ideal bagi
kamu dan itu bukan saya. Tidak pernah saya."
"Segitu buruknya
kamu liat aku?"
"Kita sama-sama
tau, ini hanya soal waktu saja, sampai kamu mengemasi barang-barangmu dan pergi
lagi dari hidup saya. Kamu melanggeng keluar dengan perasaan lega karena telah
menemukan. Sedang saya . . . saya harus kembali merapikan semua keping-keping
harap yang hancur berantakan. Saya nggak tahu berapa lama sampai kehidupan saya
menjadi baik lagi.”
Tatapannya berubah
nanar. Sisa-sisa keberanian yang ia kumpulkan di awal percakapan perlahan
meluntur. Tatapannya kembali menuju meja, ke lantai, ke mana saja, asal tidak
menatapku.
"Saya kenal kamu
bertahun-tahun,” kataku lagi. “Kita pernah mencoba dan gagal. Bagi kamu, saya
nggak lebih dari tempat singgah yang kapan aja bisa kamu tinggalkan.”
"Kamu tau, kamu
bukan sekadar tempat singgah. Kamu lebih dari itu."
"Saya ingin
memutus ikatan tak resmi ini. Saya bukan rumah untuk kamu, tapi bukan pula
tempat singgah, apalagi menjadi fit stop. Kita berjalan masing-masing
saja, tanpa perlu tahu kondisi masing-masing."
Sejak percakapan
terakhir itu, tidak lagi pesan-pesan darinya, panggilan telepon hanya untuk
mendengar tangis, ajakan mengopi di kafe dan berkeliling ke tempat-tempat baru.
Aku kembali ke kehidupan yang dulu, yang sepi tanpa pesan-pesan darinya. Yang
tak lagi tiba-tiba terjaga tengah malam buta hanya untuk menenangkannya. Tapi
aku tahu, sejak kehadirannya, aku tak pernah bisa kembali menjadi diriku yang
dulu.
Ini tidak mudah. Belum
pernah mudah. Sangat berat melepaskan kebiasaan-kebiasaan yang sudah menahun
itu, tapi lebih berat lagi rasanya menipu diri bertahun-tahun dengan mengatakan
suatu hari dia akan mencintaiku. Yang aku lakukan hanya belajar melepas harap
dan impian-impian buta. Aku harus belajar menerima dan memberi ruang untuk cinta
yang baru.