Dia ingin
mengganti isi kepalanya dengan layar televisi nasional, ketika tayangan iklan
lebih panjang daripada film yang sedang diputar. Namun, dia sadar, kepalanya
hanyalah bioskop tua yang memutar film tanpa jeda dengan gambar kualitas buruk.
Potongan-potongan gambar yang tidak utuh, tapi semua merujuk pada satu nama
yang susah payah dia hapuskan.
Kadang dia
ingin kembali ke masa anak-anak, ketika pagi hanya dipenuhi bau kunyit yang
melekat di jemari lembut yang membangunkannya dari tidur, memintanya menunaikan
solat subuh. Jemari yang mengusap lembut kepalanya sambil menunggu kantuknya
hilang, lalu turun dari ranjang. Menggengam tangannya, menunggunya berwudhu di
pancoran.
Lalu dia berdiri
di dekat pintu dapur, memerhatikan punggung ibunya, menunggunya selesai
memasak. Menunggu kepulan asap dari nasi yang baru diangkat dan sepiring telor
dadar kesukaannya. Kadang ia memilih menunggu di pintu depan, menyambut bapaknya
yang pulang dari salat di masjid, berjalan-jalan pagi lalu membawa koran di
tangannya. Kemewahan yang tak dimiliki sebagian orang, yang berpenghasilan tak
seberapa dari mengais rejeki di pasar.
Kemewahan yang diwariskan kepadanya. Kegemaran membaca.
Kemewahan yang diwariskan kepadanya. Kegemaran membaca.
Bertiga,
mereka menyusuri jalan-jalan becek menuju ke pasar. Menuju lapak jualan
bapaknya, menuju tempat ibunya menjajakan pakaian, milik saudagar pakaian.
Pasar, baginya, lorong-lorong sempit yang disesaki banyak manusia, wahana
permainan tempatnya berlarian, tempat tidurnya setelah lelah bermain. Dia tidur di lapak bapaknya, di toko ibunya berjualan,
di toko-toko mana saja. Ia telah menjelma keponakan bersama penghuni pasar itu.
Tapi paginya
adalah serangkaian rutinitas yang telah dihafalnya di luar kepala. Pagi yang
selalu tergesa-gesa agar dapat menerobos jalan ibu kota. Dia harus menghidupi dirinya
yang dewasa, menjauh dari orang tua.
Di meja
kerja, ketika jarum jam seolah bergerak lebih lambat menuju waktunya pulang,
dari mata jendela, dia melihat jalan-jalan yang dipenuhi kendaraan. Dia ingin
menjebakkan dirinya di sana, membayangkan dirinya di tengah lautan kendaraan,
berhimpitan, penuh bunyi klakson kendaraan. Di belakang tubuhnya, seseorang
memeluknya, menyembunyikan kedua tangannya di saku jaketnya.
Peluk yang
malu-malu.
Lamunannya
terhenti ketika satu per satu temannya berpamitan, jam kepulangan telah datang.
Dengan gontai, dia meninggalkan meja kerjanya, menuju stasiun, menuju
peperangan memperebutkan satu celah di dalam gerbong-gerbong kereta. Di tengah
himpitan manusia, kepalanya masih memikirkan dia saja.
“Suatu hari, sapaan darinya hanyalah serupa peringatan di bus atau kereta yang kau tumpangi. Ada, tapi tak perlu kau tanggapi. Kau berlalu begitu saja. Tanpa beban,” gumamnya.
0 comments:
Posting Komentar