di jalan
lengang menuju pulang, perasaan melankolis menguasai saya. bukan sebentuk
perasaan yang melahirkan kesedihan, melainkan rasa tenang dan damai. jalan yang
sepi dari kendaraan, lampu penerangan yang buram, angin yang berhembus pelan,
memberi rasa bahagia. sebentuk perasaan ini entah terbuat dari apa, dari mana
asalnya. mungkin jalan yang lengang ini membuat saya berhenti mengejar,
mempertanyakan banyak hal yang belakangan sering saya lakukan. hanya menyusuri
jalan dan melaju kendaraan dengan pelan.
perasaan
semacam ini mengingatkan saya akan tulisan Soe Hok Gie; Catatan Seorang
Demonstran, di buku hariannya tertera tanggal 2 Desember 1969, beberapa hari
sebelum kematiannya.
Saya
melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas Jakarta dengan ‘warna-warna’
yang baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam suatu kombinasi wajah
kemanusiaan. Semuanya terasa mesra, tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri
saya lepas. Dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di
jalan-jalan. Kebetulan busnya macet di Senen. Dan jembel-jembel yang tidur di
emper-emper toko Senen rasanya tidak lagi menjadi manusia-manusia yang degil
dan buas karena penderitaan, tapi menjadi manusia-manusia yang telah rela menerima
hidup yang berat ini. Perasaan ‘sayang’ yang amat kuat menguasai saya. Saya
ingin memberikan sesuatu rasa ‘cinta’ pada semua manusia, anjing-anjing di
jalanan, mungkin pula pada semua-muanya. Dan saya merasa satu dengan denyut
hidup yang manusiawi di Jakarta.
membaca
buku, menonton film, mendengarkan musik, meninggalkan efek cukup besar dalam
diri saya. efek itu kadang bertahan dalam hitungan jam, kadang berhari-hari.
kadang timbul perasaan marah, lalu saya menulis dengan nada marah, tak
menggunakan bahasa lugas, kasar, tapi menyimpan sindiran-sindiran. kadang
timbul perasaan melankolis, seperti beberapa tulisan yang saya bagikan di blog.
belakangan saya mengulang-ulang mendengarkan musik dari Olafur Arnald dan
Dustin O’Halloran. saya seperti mendapat energi yang tak habis-habis untuk
menulis. menulis sesuatu yang sedih.
kadang-kadang,
tak menjadi apa-apa, seperti ketika menonton konser Kita Sama-sama Suka Hujan,
di sekeliling saya, tangis terdengar. pelan dan begitu lirih. lalu saya pulang
dengan membawa musik-musik di kepala, tak menuliskan apa-apa, hanya mengendap saja
di kepala, di dalam diri saya.
saya sedang
ingin menulis sebuah surat yang ditulis dengan tulisan tangan. tulisan yang tak
rapi, yang mungkin membuatmu sulit membacanya. saya ingin menulis di lembar-lembar
kertas yang akan kau simpan di kotak atau di lemari bukumu. kelak, ketika kau
buka lagi, kertasnya telah menguning, tintanya telah memudar dimakan waktu.
hari-hari berlari begitu cepatnya. hari-hari berlalu begitu lambat. kenangan
menjadi sesuatu yang memudar ditimpa ingatan-ingatan baru. kisah-kisah baru.
0 comments:
Posting Komentar