Dia tidak bisa tidur.
Menghitung domba hingga seratus,
memakan pisang – saran dari temannya, yang katanya dapat membuat seseorang
mengantuk- hingga lima buah, mendengarkan musik, mematikan lampu, berdoa,
hingga push up agar tubuhnya lelah. Namun, dia tetap tidak bisa tidur. Dia
menghindari membaca buku. Bagi sebagian orang, membaca akan membuat mata lelah
kemudian mengantuk dan terpejam. Baginya, lain soal. Membaca akan menuntun
pikirannya tetap segar dan membuat matanya terjaga, selelah apa pun.
Dia meraih telepon genggamnya,
mengecek kotak masuk dan surat elektronik. Tidak ada pesan yang masuk begitu
pun surat elektronik. Dia memberi makan Pou –aplikasi-, menambahkan energi,
bermain sedikit agar mendapat poin lalu mematikan lampu pijar, Pou terlelap,
dia tidak.
Dia menyerah. Menyambar jaket
yang tergantung di balik pintu dan meninggalkan rumah.
Pagi belum rampung benar saat dia
menjatuhkan tubuhnya di bangku taman. Lampu-lampu jalan yang redup, segan
menerangi jalanan yang sepi. Beberapa penjual makanan mendorong gerobak, yang
ingin mengais rejeki di pagi hari atau ingin merebahkan diri setelah menjajakan dagangannya sepanjang
malam. Sepasang, dua pasang, seseorang, berlari. Menembus dinginnya pagi,
mengenakan jaket dan sepatu lari. Ada pula yang hanya mengenakan baju tanpa
lengan, menantang dinginnya udara pagi.
Dia terkejut saat mendapati
seekor kucing di sampingnya. Kucing berwarna hitam legam. Dia menatap dan
kucing itu balas menatapnya. Matanya hijau sempurna, dilapisi garis tipis
hitam, terlihat bagitu indah. Lapar, katanya pada kucing itu. Mau makan,
tanyanya lagi. Minum, susu atau kopi, tambahnya. Kucing itu hanya menatapnya,
sesekali mengangkat kakinya, menjilatinya.
Dia mengambil sebungkus rokok
dari sakunya, mengeluarkan satu lalu menyulutnya. Kucing itu pergi setelah
menatapnya. Mata itu, mata hijau dengan lapisan hitam, membuatnya bergidik. Dia
merasa begitu dekat dengan mata itu. Seperti mata perempuan itu. Shinta.
Ingatannya terbang setahun silam.
Di pagi yang muram, saat segala cara tak dapat membuatnya tertidur, saat
dirinya memutuskan untuk duduk di bangku taman, perempuan itu tiba-tiba saja
berada di sampingnya. Seperti seekor kucing yang baru saja dilihatnya.
Kau mau, katanya, menyodorkan
roti. Dia menggeleng, menyulut rokok dan menghembuskan asapnya, membentuk
bulat-bulat. Boleh kuminta satu, katanya lagi, setelah menghabiskan roti,
mengelap tangannya di bajunya. Dia pun memberikannya, juga koreknya dan
membantu menyalakannya. Perempuan itu pun pergi setelah menghembuskan asap
rokoknya, membawa rokok dan korek miliknya. Dia diam saja, tak ada hasrat untuk
mengejar, memanggil pun tidak.
Di lain pagi, perempuan itu
datang. Duduk tepat di sampingnya. Memberikan sebungkus rokok dan korek api. Maaf
terbawa, katanya. Dia hanya menatap perempuan itu. Tak ada kalimat, tak ingin
memulai percakapan. Baik kuralat, sengaja kubawa, anggap saja sebagai tiket
untuk bertemu denganmu. Dia hanya diam, menatap mata perempuan itu. Mata yang
hijau, seperti sebuah danau. Membuatmu ingin berenang, menyelaminya. Mata yang
tak hanya membuatmu jatuh cinta tapi juga tenggelam. Ada arus begitu kuat di
mata itu, yang membuat tubuhmu seketika kaku, menarik tubuhmu kuat-kuat dan
tenggelam di dalamnya.
Dia pun tersenyum, perempuan itu
ikut tersenyum. Senyuman hangat yang dapat melelehkan sebongkah es di antara
mereka. Mereka berbicara tentang apa saja. Sesekali tertawa, sesekali berpikir
topik apa yang menarik untuk dibicarakan. Mereka sepakat membuat kesepakatan
yang tak terikat. Tentang pertemuan-pertemuan selanjutnya. Perempuan itu pamit,
dia memanggilnya. Setidaknya, beri tahu namamu, katanya pada perempuan itu.
Shinta, teriaknya. Dan, perempuan itu pun pergi, hilang ditelan tikungan jalan.
Sejak hari itu, mereka bertemu
seminggu sekali. Di pagi yang belum rampung, di bangku taman. Anehnya, dia tak lagi
mengalami gangguan tidur. Insomnia akut yang dideritanya bertahun-tahun pun
hilang, menguap tak berbekas. Dia tak lagi merisaukan apa pun. Pekerjaan, masa
depan, kehilangan, ketakutan dan segala tetek bengek kehidupan yang tak
baik-baik saja ini, tak dirisaukan.
Dia seperti menemukan rumah,
tempatnya pulang, tempatnya mengadu, berkeluh kesah, tempat yang dia rindukan. Namun,
bukan hidup namanya jika semua berjalan baik-baik saja. Perempuan itu tak
datang lagi ke taman. Tanpa kabar, tanpa pemberitahuan. Tiba-tiba menghilang
seperti kedatangannya di taman yang serba tiba-tiba. Insomnia yang dideritanya
kembali datang menyerang. Rumah tempatnya berpulang hancur perlahan-lahan.
Dia, tak bisa tidur lagi. Seperti
hari ini, seperti hari-hari kemarin, seperti minggu-minggu yang usang, dia duduk
di taman, menunggu perempuan itu datang.
0 comments:
Posting Komentar