cerpen

TUHAN ???
Pernah anda berjalan? Semua orang pasti pernah berjalan. Bahkan seorang bayi pun merangkak untuk belajar berjalan, apalagi anda. Ups bukannya saya menghina atau menganggap semua orang mampu berjalan, untuk anda yang tak mempunyai kaki toh anda juga akan berjalan dengan kursi roda atau setidaknya waktu yang terus berjalan mengiringi anda, karna waktu tak mungkin stagnan disatu ruang bahkan untuk sedetik pun tak akan pernah terjadi. Tapi pernah anda berjalan seperti saya, menelusuri hal yang tak pasti, membiarkan kaki melangkah mencari tuhan yang disembah manusia? Mungkin tidak atau tak pernah terbesit di pikiran anda untuk melakukannya. Jangan anggap saya sombong toh saya tak lebih baik dari anjing, atau anda bisa panggil saya babi, terserah ! saya Cuma roh yang dibungkus jasad manusia, huh akhirnya selama 19 tahun kata itu terucap dari mulut saya “ma-nu-sia”. Mencari tuhan atau mencari makan? pertanyaan itu sama saja terdengar bunyinya ditelinga sama-sama mencari, perbedaannnya hanya jasmani dan rohani tapi sama-sama dicari dan ingin terpenuhi.
Tuhan ... tuhan kali ini kau masukkan aku dalam peran apa, engkau kan sutradara dunia, penulis skenario terindah sepanjang masa tapi peranku tak jauh dari kemiskinan dan kesusahan, apa tak ada peran yang layak dan lebih baik buatku tapi sudahlah mungkin aku harus belajar banyak sehingga sang sutradara dunia merubah peranku menjadi sang milyarder. Tapi tujuan utamaku adalah mencari-Mu sebagai obat dahaga jiwaku yang selalu haus kegelisahan yang seharusnya ketemukan sebagai penuntun langkahku di dunia fana ini. Kemarin aku berperan sebagai pemulung jangan anda anggap aku meratapi nasibku tidak dan tidak sama sekali, pemulung hanya peran dan bisa kapan saja berganti sesuai skenario baru dari tuhan, semua hanya penunjang satu suap nasiku. Kemarin, seperti hari-hari sebelumnya beberapa orang menegurku sekedar menyapa atau bahkan ada yang mengajakku berbincang-bincang tanpa ujung pangkal yang jelas dan aku pun menganggapnya sebagai selingan, dan semua mengalir seperti air.

“Hai orang mana kau, bisa terdampar disini dan jadi pemulung pula?” seorang pria bertanya kepadaku, membunuh lamunanku dan dari logatnya sudah pasti orang medan.
“Gua lahir di atas pemotongan daging, beralaskan koran-koran bekas pembungkus ikan jadi dimanapun sampah-sampah berada itulah asal gue , dan itulah rumah gue” jawabku santai.
“Jadi lapar yang membuat kau menjadi pemulung ?”
“ Itu salah satu alasan gua tapi yang pertama gua mencari tuhan bukan makan, karna gua nggak mau mati sebelum bertemu tuhan dan gua butuh makan”
“Hei bengak kali kau, tak perlu lah kau jauh-jauh berjalan mencari tuhan, tuhan tu ada disini” sambil menunjuk dadanya.
“Abang salah satu dari sekian banyak orang yang bilang begitu ke gua tapi tetap aja nggak semudah itu bang, kalau memang tuhan ada di hati setiap manusia tapi kenapa gua nggak merasa puas dan mungkin gua berjalan untuk mencari kunci untuk membuka tuhan dalam hati gua”
“Yah terserah kau saja, baik-baklah kau di perjalanan agar kau tak mati sebelum mendapat apa yang kau cari, aku pergi kawan” pamitnya sambil menyalamiku.

Namanya saja aku tak tahu, walau bagaimana pun dia sudah menambah peranku untuk hari ini, mengobrol dan berbincang-bincang.
Kakiku masih terus berjalan mencari peran apa yang bisa kulakoni untuk sebungkus nasi. Matahari masih menjalarkan lidah apinya ke seantero bumi, membuat siapa saja malas keluar rumah apalagi berjalan d bawah teriknya yang menyengat akan membuat seluruh tubuh basah kuyup dengan keringat. Tapi apalah arti panas, toh kulitku memang sudah lama gosong dan rambutku memang bau matahari karna aku bukan mereka , bukan orang-orang yang biasa menghabiskan ratusan bahkan jutaan rupiah untuk merawat tubuh. Jangan salah sangka, pasti di benak kalian aku sangat benci mereka, bukan, bukan itu maksudku, aku hanya ingin bilang bagi kami makan lebih berharga dari pada perawatan atau apapun karna untuk bertahan hidup ya harus makan.
Hari ini sepertinya gudang memoriku terbuka lebar, membawa diriku dalam kejadian-kejadian yang pernah kulakukan. Sebelum akhirnya aku memutuskan menjadi pemulung aku bekerja sebagai OB (baca: office boy). Kerjaanku simple hanya membuat kopi atau teh, membeli makanan di luar sesuai kebutuhan perintah dari atasan. Gajiku bisa terbilang lumayan, untuk sekedar makan sih lebih dari cukup. Hari-hariku terus berjalan seperti kemarin dan hari ini akan menjadi cerminan tuk esok karna disini semua seperti terulang secara terus-menerus hanya beda hari, tanggal dan jam yang terus berputar. Anda pasti tahu apa yang aku rasakan ”jenuh” ya aku bosan dengan keadaan ini terlebih kesadaaranku menyeruak, disini aku hanya menjadi budak dunia mencari makan tanpa mencari tuhan dan anda juga pasti tahu apa yang akan aku lakukan, benar...benar sekali aku berhenti dan berjalan lagi hingga akhirnya aku menjadi pemulung. Jeritan klakson menyadarkanku dari ruang khayal, hari sudah sore. Matahari mulai lelah dan berlari menuju barat untuk terbenam, berhiaskan lembayung kuning keemasan mengambarkan kemegahan singgasana tuhan. Tuhan tahu kalau aku lelah dan memberi dispensasi untukku bermalas-malasan hari ini, hari ini aku hanya dijadikan sebagai musafir yang merenung dan memikirkan kemana esok kan melangkah. Matahari terbenam itu seakan menghipnotisku untuk terus melangkah ke barat tapi semua akan berubah ketika keindahan itu terbit di ufuk timur, ya sudahlah barat atau timur bukan tujuanku, tujuanku mencari tuhan akan kubiarkan kaki ini melangkah tanpa hasrat timur dan barat dan terus melngkah hingga berjumpa tuhan.
Penikmat Kopi Hitam
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar