Masih seperti dulu, seperti beberapa tahun silam perkenalan kita. Kopi
hitam adalah alasan mengapa kita duduk bersebelahan, berkenalan, menjadi
sahabat dan akhirnya mencintai. Dan tiga puluh menit selalu menjadi perantara
untuk akhirnya kita benar-benar saling berbicara. Dalam tiga puluh menit yang
panjang, dimensi waktu yang di dalamnya terdapat duniamu sendiri, tenggelam di
dasarnya tanpa pernah bisa aku menyelaminya.
Dan masih seperti dulu, aku selalu datang pertama. Memulai semuanya dengan
secangkir kopi dan menerawang jauh memasuki dunia absurditasku, dunia yang tak
mampu ku menerjemahkannya. Dunia yang mengambil ruang sendiri di tengah putaran
hidup yang ku jelajahi. Lalu kamu duduk di sebelahku, membawa secangkir kopi
tanpa sedikit pun menyentuhku hanya memandang sekilas. Lalu kamu pun tenggelam
dalam duniamu dan ketika tersadar, kita telah melewati tiga puluh menit yang
panjang, meski tidak selalu tiga puluh menit yang tepat.
Lalu kita mulai berbicara, bertanya kabar dan bercerita tentang hal-hal
yang remeh. Masih terekam jelas di otakku pertama kali kamu berkomentar tentang
kopi. “Sekilas memang tak ada yang istimewa dari kopi ini, tapi bagi para
penikmat kopi, kopi hitam adalah sensasi yang tergambarkan. Menghirupnya
dalam-dalam lalu menyurutnya di tengah kepulan asap dan perlahan kamu akan
tahu, betapa kopi hitam memiliki karakter yang kuat di dalamnya” itu kata-kata
yang keluar dari mulutmu untukku. Kamu berbicara seolah kamu mencintai sesuatu
dengan segala alasan yang rumit.
Lalu kamu bertanya tentang kopi kepadaku, tentang alasan yang aku sendiri
tak mengerti. Kopi hitam itu simple, tidak neko-neko dan yang terpenting kopi
hitam tidak perlu menjadi indah untuk diminum, tampil dengan apa adanya. Itu
yang aku katakan padamu, kamu hanya terdiam, tidak bereaksi apapun tentang
jawaban yang menurutku terlalu sederhana ini.
Tiga puluh menit telah berlalu saat kau duduk disebelahku, tapi tak juga
sepatah kata keluar dari bibirmu, seolah kamu sedang memilah-milah kata dari
milyaran kata dan mengambilnya beberapa untuk memulai kebisuan ini.
“Apa kabar?” ucapmu pelan.
Waktu masih mengambil jarak antara kita, aku terdiam tak tertarik untuk
menjawab pertanyaan yang kamu lontarkan. Kamu pun ikut terdiam, memikirkan kata
selanjutnya untuk memeceh kebisuanku. entah dari mana satu kata itu meluncur
dari bibirku yang ku tutup rapat.
“Baik”
“kamu masih tetap sama seperti dulu, dan bukan hal yang sulit untuk
menemukanku, karna kamu akan selalu aku jumpai di sudut taman dengan secangkir
kopi hitam” kata-kata itu meluncur deras dari bibirmu, seolah kamu menemukan
air yang mendidih untuk mencairkan kebekuan kita.
“Kenapa kembali?” kataku kepadamu tanpa mengindahkan ucapanmu tadi.
“Karena kopi ini. aku kangen dengan kopi ini, dengan dunia absurditasku
dan... kamu”
“Kamu sudah lupa cara menikmati kopi hitam ini dan juga aku” kataku
kepadamu dengan datar tanpa menoleh sedikitpun kepadamu
“Aku hanya ingin kita bersahabat, bersama-sama menikmati semua tanpa harus
embel-embel status, hanya sebagai sesama penikmat kopi hitam”
“Pergilah, kamu sudah memilih waktu itu”
Entah bodoh atau gila yang merasuki jiwa kosongku, kata-kata itu keluar
dengan cepat dari bibirku tanpa sempat otakku mencerna, dan kamu pergi seketika
tanpa berusaha menggoyahkan keyakinanku lagi.
Saat kamu pergi, yang kulihat hanya punggungmu dan untuk pertama kalinya
aku menoleh kepadamu setelah semuanya terjadi, dan pertama itu adalah akhir.
Penikmat kopi hitam
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus