Kamu duduk di ujung tempat tidur, membelakangiku yang terbaring di atas kasur. Menutupi wajahmu dengan kedua tangan. Hanya suara sesegukan yang kudengar. Suara lirih yang perlahan semakin keras, seperti lolongan di kelam malam. Air matamu jatuh satu-satu, menderas hingga mulai memenuhi ruangan. Aku ingin beranjak dari tempat tidurku ketika air mulai menggenangi kaki-kaki dipan. Aku ingin bangkit, tetapi tubuhku seperti terikat. Badanku seperti ditindih batu besar. Kamu memalingkan wajahmu, melepas kedua tangan yang [.....]
Jika aku tahu, aku masih hidup di usiaku yang ke-30, aku akan mengatakan pada diriku di usiaku yang ke-23, tetaplah jadi pemurung, pemurung yang riang. Aku ingat kali pertama menyukai sunyi. Ketika duduk di kelas dua sekolah menengah pertama, teman-teman sekelasku berkelahi dengan kelas tiga. Keributan ini bermula saat temanku dipukuli di kamar mandi oleh kakak kelas. Ego anak muda, ingin menunjukkan diri membakar amarah teman-teman sekelasku. Mereka berkelahi saat guru [.....]
“Berapa ya umur pohon itu?” katamu seraya menunjuk pohon besar di hadapamu. Mendongakkan kepala, mencari puncak pohon itu. Rimbun daunnya tak mengizinkan mata kita melihat ujungnya. Jika kita mau beranjak beberapa meter saja darinya, mungkin akan terlihat puncaknya, meski setelahnya kita hanya bisa menebak-nebak berapa tingginya. Aku ikut mendongakkan kepala, lalu beralih memerhatikanmu yang tengah asik memandangi pohon besar itu. Sekiranya, butuh lima sampai enam lengan orang dewasa untuk bisa melingkari pohon raksasa itu. Kamu lalu meraih telepon genggammu dari [.....]
Bu, bahagia tak ubahnya pasar malam. Terdapat banyak wahana yang menawarkan sukacita. Penjaja gulali yang menawarkan rasa manis. Dan kita selalu menjelma pagi, yang tak pernah melihat dan mencicipinya. Bu, bahagia seperti hujan di musim kemarau yang panjang. Menyejukkan dan memberi harapan. Membasahi tanah-tanah yang retak, menyuburkan tanaman. Dan kita selalu menjelma kemarau yang lupa dikunjungi hujan. Hujan seperti sepasang kekasih yang baru berpisah, marah, dan belajar tidak peduli. Bu, bahagia seperti langit-langit [.....]