SATU NAMA






“Aku harus gimana?” tanyanya, setengah berteriak.
Wajahnya pias, tangisnya telah reda, hanya menyisakkan isak dan riasan wajahnya yang luntur tanpa berusaha dihapusnya. Kedua tangannya mengepal, bergetar, menahan amarah. Beberapa pengunjung memerhatikanku, beralih memerhatikannya. Menatap kami bergantian, mencuri pandang, menyimpan pertanyaan tentang seorang perempuan yang menangis di hadapanku. Aku menjadi satu-satunya terdakwa di hadapan mereka.
Perempuan di hadapanku masih menatapku lekat-lekat, berharap mendengar jawaban dari mulutku. Aku diam. Bukan hal mudah bagiku menjawab pertanyaannya tentang melupakan dan melanjutkan hidup setelah kegagalannya menikah.
Tidak ada rumus, tidak ada polanya. Jika aku tahu cara mengobati hati dengan cepat, aku tidak mungkin berada di posisi sekarang. Setiap hari, selama berbulan-bulan hanya memikirkan satu nama. Memikirkan seseorang dan berharap bisa bersamanya. Perempuan yang kucintai, yang membuatku berani bermimpi dan melabuhkan harap, memilih pergi. Memilih menjalani sisi hidupnya yang lain, sisi hidupnya tanpaku. Belajar melepaskan dan melupakan. Belajar membuka hatinya untuk orang baru.
Dan, aku masih saja berdiri di tempat yang sama, tak beranjak selangkah pun. Menantinya pulang.
“Kamu hanya perlu melanjutkan hidup, ada atau tidak ada bahagia untukmu,” jawabku.
Perempuan di hadapanku diam, menunggu kata-kata bijak, menunggu kalimat-kalimat yang dapat memotivasi hidupnya. Bibirku kelu, otakku buntu. Aku tak memiliki kata-kata bijak, jika aku memiliki itu semua, sudah pasti kugunakan untuk diriku sendiri. Nyatanya, aku tak memiliki apa-apa selain menerima kepergian orang yang kucintai dan berharap dia kembali suatu hari nanti.
“Untuk apa hidup jika kita tidak bisa bahagia?” tanyanya lagi.
“Menuntaskan apa yang harus dituntaskan. Tidak ada janji bahagia, tidak ada kesedihan yang bertahan selamanya, tapi kita tau, kita hidup. Kita tuntaskan jatah kita. Satu-satunya alasanku hidup hari ini, bukan karena harapan atau impian. Aku hanya tau, satu-satunya yang harus kulakukan adalah melanjutkan hidupku. Itu saja.”
“Apa aku salah jika masih mengharapkannya?”
Aku tidak tahu. Jika mengharapkan seseorang yang telah pergi meninggalkanmu adalah sebuah kesalahan, maka aku melakukan kesalahan yang sama setiap hari. Jika menginginkan seseorang yang memilih pergi adalah kebodohan, maka kebodohanku tak dapat dimaafkan.
Aku menginginkannya. Setiap hari. Sampai hari ini. Mungkin juga nanti. Mungkin selamanya. Jika selamanya ada.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

1 komentar: