Menulis, katamu, sebuah upaya menyelamatkan
ingatan sebelum memudar.
Kamu tak pernah sekalipun absen membawa buku tulis bersampul cokelat pada
setiap pertemuan kita. Kamu harus menulis, apa saja, dan tuliskan tanggalnya,
pintamu yang lebih mirip memerintah. Ini ritual baru bagiku. Mantan-mantan
pacarku tak pernah meminta hal ini dan kamu memintanya di setiap pertemuan. Di kedai
kopi tempat kita biasa menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan setelah kelelahan
berjalan beberapa kilometer mengikutimu yang gemar berjalan kaki.
Aku sedang tidak ingin menulis, kataku. Kamu mengembungkan pipi tirusmu,
seperti balon yang baru ditiup dan ingin segera kutusuk dengan jarum. Cemberut.
Kujawil pipimu, lalu kamu meletakkan buku tulis itu di atas bangku, memalingkan wajah, enggan menatapku. Ketika buku
tulis itu kugenggam, semburat senyum tipis menghiasi bibirmu. Tipis saja,
berharap aku tak menyadarinya. Usaha yang sia-sia, ekor mataku menangkapnya.
“Terima kasih,” katamu.
“Aku tidak tahu menulis apa, kutulis apa saja. Biar kamu senang.”
“Bukan tulisan. Terima kasih sudah membiarkanku rebahan di bahumu. Aku senang
bermanja-manja dan kamu mengabulkannya. Aku sebal jika orang yang kusayangi
risih ketika aku bermanja-manja dengannya,” jelasmu lalu menarik genggaman
tanganmu dariku.
Kamu lalu menjelaskan teorimu tentang sebuah hubungan. Pasangan baru,
katamu, senang menunjukkan hubungan mereka di depan umum. Berpegangan tangan,
memeluk, bersandar di bahu, namun semua itu hanya berlangsung sebulan. Setelahnya,
keduanya akan dilanda rasa bosan dan enggan menunjukkannya di depan publik.
Aku tidak sepakat denganmu. Bagiku, sebulan, setahun, bahkan jika kita
menua bersama, aku tidak akan pernah bosan menggenggam tanganmu dan
membiarkanmu merebah di bahuku. JIka suatu hari rasa bosan menghampiriku, aku
akan mengingat hal-hal manis yang pernah kita lalui bersama, semacam upaya
menumbuhkan cinta. Jika kamu dilanda rasa bosan, aku akan menawarimu cinta setiap
harinya.
“Untuk apa tulisan ini?”
“Untuk memastikan, tulisan ini hanya diperuntukkan untukku. Aku tidak tau
tulisan yang kamu tulis khusus untukku ketika kamu menulisnya di blog. Aku lelah
menerka-nerka dan malas bertanya. Anggap saja, ini sebuah upaya memperpanjang
ingatan kita,” jawabmu.
Kini, setelah genggaman tangan
kita harus dilepas – bukan karena rasa bosan- aku ingin membaca
tulisan-tulisanku di buku tulis bersampul cokelat milikmu. Aku ingin membaca
dan mengingat momen-momen bahagia kita yang kutulis di buku itu.
Jika rindu mengalahkanmu dan
kamu tak ingin menyapaku, kamu bisa membacanya. Berulang-ulang hingga lelah dan
tertidur.
0 comments:
Posting Komentar