Menua




“Berapa ya umur pohon itu?” katamu seraya menunjuk pohon besar di hadapamu. Mendongakkan kepala, mencari puncak pohon itu. Rimbun daunnya tak mengizinkan mata kita melihat ujungnya. Jika kita mau beranjak beberapa meter saja darinya, mungkin akan terlihat puncaknya, meski setelahnya kita hanya bisa menebak-nebak berapa tingginya.
Aku ikut mendongakkan kepala, lalu beralih memerhatikanmu yang tengah asik memandangi pohon besar itu. Sekiranya, butuh lima sampai enam lengan orang dewasa untuk bisa melingkari pohon raksasa itu. Kamu lalu meraih telepon genggammu dari bagian kiri tas, tempat menyimpan botol minuman. Anehnya, kamu selalu merasa senang meletakkan selulermu di sana, tanpa takut kehilangan.
Aku menarik langkah ke belakang, mengabadikanmu menggunakan telepon genggamku. Mencuri hal-hal kecil darimu selalu menyenangkan, sepertimu yang mencuri kecupan di kedai saat kita makan malam, mencuri pelukan di tengah keramaian sebuah taman. Aku kerap mencuri kecupan saat kamu melamun, kamu akan menyikutku pelan, lalu tersenyum atau merapikan anak-anak rambutmu yang digoyangkan angin, menyisipkannya di telingamu.
Kamu lalu menarik lenganku, meminta melanjutkan berjalan. Langkahmu cepat-cepat, seperti seseorang yang sedang dikejar-kejar sesuatu. Pada pertemuan selanjutnya aku baru paham, kamu memang dikejar-kejar waktu. Jarak rumahmu yang cukup jauh hanya mengizinkan kita bertemu tiga sampai empat jam pada setiap pertemuan.
Aku mengekorimu di belakang, napasku naik-turun. Dadaku megap-megap, keringat membasahi kausku. Kamu memalingkan wajah ke arahku, berjalan mengahampiriku. Payah banget, katamu sambil tersenyum lalu menarik lenganku. Aku nunggu aja, kamu yang muter-muter, pintaku. Nope, katamu, kamu harus ikut, sekalian olahraga.
Dengan langkah gontai aku mengikutimu. Kaki-kakiku mungkin sedang mengeluh, mereka mungkin sedang berdebat, kenapa aku mau saja mengikutimu. Kepalaku yang bosan mendengar ocehan kakiku akhirnya menyerah dan berdamai, memintaku duduk di bangku taman yang menghadap kolam. Membiarkanmu berjalan mengitari taman, mengabadikan pemandangan melalui telepon pintarmu.
Kamu duduk di sampingku. Mengambil botol air mineral dari genggamanku, meneguknya perlahan. Hanya dua tegukan, tak lebih. Berjalan dan meminum banyak air membuatku sakit perut, jelasmu. Kamu mulai membongkar tasmu dan mengeluarkan tissue basah. Mengelap bibirmu, menghapus pemulas bibirmu yang berwarna gelap. Kenapa, tanyaku. Bukan aku banget, jawabmu.
Ini kali pertama aku melihatmu mengenakan pemulas bibir. Beberapa hari sebelumnya kamu mengirimkan beberapa foto kepadaku, menanyakan pemulas bibir warna apa yang kusuka, merah muda atau gelap. Abaikan rambutnya, katamu. Permintaan yang sia-sia karena tetap saja aku tak dapat menahan tawa melihat rambutmu yang berantakan.
Aku mengatakan menyukai keduanya, tapi mungkin lucu juga jika menggunakan pemulas bibir warna dark dipadukan dengan kaus biru tua dan celana pendek yang selalu kamu gunakan. Tak lupa, sepatu converse putih kesayanganmu.
“Aku ingat kamu pernah menulis untukku, aku ingin menghapus pemulas bibirmu dengan bibirku,” katamu dan aku mengangguk. “Tapi ini matte, sayang, nggak akan hilang kalau cuma ciuman.”
Melihatku yang bengong dan tak paham tentang komestik, kamu mengecup pipiku. Jangan dipikirin, ini urusan perempuan, katamu, menarik lenganku lagi, meminta melanjutkan berjalan.
Bersamamu, aku ingin terus berjalan. Menginjak tempat-tempat baru, melalui hal-hal baru. Mengulang kecupan yang sama, pelukan yang lebih erat dari sebelumnya. Kita tak perlu lagi mencari rumah untuk pulang. Hatimu, rumah paling nyaman untuk menetap. Hatiku, selalu terbuka untukmu.




Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar