Pijakan Berbeda



Kamu duduk di ujung tempat tidur, membelakangiku yang terbaring di atas kasur. Menutupi wajahmu dengan kedua tangan. Hanya suara sesegukan yang kudengar. Suara lirih yang perlahan semakin keras, seperti lolongan di kelam malam. Air matamu jatuh satu-satu, menderas hingga mulai memenuhi ruangan. Aku ingin beranjak dari tempat tidurku ketika air mulai menggenangi kaki-kaki dipan. Aku ingin bangkit, tetapi tubuhku seperti terikat. Badanku seperti ditindih batu besar.
Kamu memalingkan wajahmu, melepas kedua tangan yang menutupi wajahmu, menatapku, membiarkanku menatap wajahmu, matamu yang terus saja mengalirkan air serupa air terjun di musim hujan. Tiba-tiba aku merindukan senyummu, senyum yang membuat matamu hanya terlihat segaris. Lesung pipi di wajah pucatmu. Wajah kekanak-kanakan, sifatmu yang manja. Aku ingin menghapus air matamu, mengecup pipimu, namun tubuhku seperti terikat, tak mampu bergerak.
Air matamu membanjiri ruangan ini, memenuhi kamarku. Sekujur tubuhku basah, air masuk melalui celah lubang hidungku, mulutku, membuatku megap-megap dan membuatku terbangun dari mimpi. Mimpi yang kerap datang berulang-ulang, menyiksaku, dan membuat sekujur tubuhku basah dengan keringat.
“Aku nggak bisa. Hanya nggak bisa,” ucapmu lirih, seperti bisikan, seperti gumamam yang diperuntukkan untuk dirimu sendiri.
Kakiku lemas seketika. Kaki yang berusaha menancap kuat meski berdiri di pijakan berbeda bernama agama, kini tak mampu menopang tubuhku, luruh seketika, jatuh ke tanah. Aku nggak mau menyakiti mama dan papaku, aku nggak bisa, katanya.
Kal duduk di hadapanku, memegang tanganku, menggenggam erat jemariku. Tangannya mengalirkan rasa hangat, menjalar ke hatiku. Rasa hangat yang akan segera mencair, berubah menjadi kebekukan yang menyelimuti hatiku. Kal hadir serupa musim panas yang menyenangkan dan pergi seperti badai salju, membuat hatiku beku dan tak dapat merasakan apa-apa lagi.
Aku dan Kal sepakat menjajaki segala kemungkinan-kemungkinan dalam hidup, meski kami tahu, di depan, jalan kami tak mudah. Langkah-langkah kami tak akan pernah mudah. Beban yang harus kami pikul memperlambat langkah-langkah kami, tetapi Kal selalu meyakinkanku, selama kita berdua, selama tak ada yang menyerah, tak ada yang menyeret langkah lainnya, kita bisa hadapi semuanya.
Dan hidup mengajarkan arti kekalahan bagiku dan Kal. Tidak semua hal bisa kita hadapi, tidak semua. Di hadapan orang-orang tercinta, di hadapan keluarga yang tak juga memberikan restunya, kami menyerah. Dipaksa menyerah.
Aku melepas Kal, bukan tidak mencintainya tetapi hanya tak ingin dia berjarak dengan keluarganya. Kal sangat menyayangi mamanya dan aku tak ingin membuat hubungan mereka buruk, meski harga yang harus kubayar sangat mahal; melepasnya.
Kal, kita tahu, hidup hanya perkara membunuh satu harapan dan menumbuhkan harapan lainnya. Melepas genggaman dan berusaha menemukan genggaman lainnya. Di mana pun kamu berada, semoga kamu selau bahagia, meski kita tahu, tidak ada bahagia yang bertahan selamanya dan tidak ada kesedihan yang menetap selamanya.
Kal, biarkan aku menjelma kenangan, sebatas kita yang pernah ada.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar