yang menetap dan pergi


“Iya, di rumah,”kataku,  klik.. sambungan telepon diputus dari seberang.
Kenny langsung masuk ketika pintu kubuka, duduk di kursi dekat jendela. Sejak dulu, aku selalu memimpikan meja bundar dan dua kursi kayu di dekat jendela dan setelah memiliki rumah sendiri -  rumah mungil yang uang muka-nya saja menghabiskan seluruh tabunganku - aku mewujudkan mimpi itu. Aku senang duduk di dekat jendela, melanjutkan pekerjaan yang belum kutuntaskan di kantor sambil sesekali memerhatikan orang-orang lalu lalang. Kadang, hanya kujadikan tempat melamun ketika hujan datang, ditemani segelas kopi dan berbatang-batang rokok tentunya.
Ken mengangkat kedua kakinya ke atas kursi, menekuknya. Menarik tudung jaketnya, membenamkan wajahnya di atas kedua lututnya. Kedua tangannya melingkari kakinya. Kubiarkan Ken melakukan hal yang diinginkannya tanpa mengusiknya. Aku pergi ke dapur, menjerang air hingga mendidih lalu kumasukkan ke dalam mok, teh Fragrance of Love telah menanti di dasar gelas, siap menerima terjangan air panas. Wanginya mengepul bersama uap yang dikeluarkan.
Fragrance of Love campuran dari berbagai jenis teh asli Indonesia dengan chammomile, peppermint, kulit jeruk dan serai. Aku membelinya di kedai khusus menjual teh. “Pencinta teh, belum tentu suka kopi, tetapi pencinta kopi, sering minum teh. Lihat saja, sehabis makan biasanya mereka memesan es teh manis atau teh tawar hangat. Menarik bukan,” kata pemilik kedai itu kepadaku.
Kesimpulan yang menarik. Beberapa temanku yang tidak suka kopi memilih meminum teh. Kopi tidak bersahabat dengan perut mereka, membuat mulas dan menaikkan asam lambung mereka. Dan beberapa teman yang suka kopi, memang sering meminum teh. Kupikir ada benarnya kesimpulan itu.
Selain Fragrance of Love, aku sengaja menyimpan teh hijau, melati dan chammomile untuk teman-temanku yang tidak suka kopi. Terutama untu Nai, yang tidak pernah bersahabat dengan kopi. Minuman jahat, ucap Nai suatu kali. Seteguk kopi hitam mampu membuatnya terjaga sepanjang malam dan membuatnya mulas sepanjang hari. “Kafein selalu membuat dadaku berdebar, seperti orang habis olahraga,” celetuknya dan membuatku tertawa. Bukan ucapannya yang memancingku tertawa, tetapi wajahnya yang cemberut dan mulutnya yang dimonyongkan, persis seperti Donald bebek. Kapan-kapan akan kuajak dia ke Timbuktu, itupun jika Donal benar, jika Timbuktu memang ujung dunia.
Nai pernah memaksakan diri menyukai minuman kesukaanku itu. Suatu hari, aku meletakkan dua mok  di atas meja, kopi hitam dan teh chammomile. Nai mengambil bagianku, meneguknya, dan berakhir dengan berlari ke kamar mandi, muntah di sana. Wajahnya pias ketika duduk di hadapanku. aku memandangnya dengan tatapan heran. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya.
“Aku ingin mencintaimu secara utuh. Aku ingin belajar menyukai minuman kesukaaanmu, tapi nggak bisa. Bikin mual,” ucapnya pelan.
Aku meraih tangannya, menggengamnya. “Kamu nggak perlu memaksakan diri menyukai semua yang aku suka. Kita dua orang yang berbeda, memiliki ketertarikan yang berbeda. Sepertimu yang suka mendatangi tempat-tempat baru, hal yang tidak kusukai. Tapi aku tetap bisa mencintaimu tanpa perlu memaksakan diri mencintai semua kesukaanmu.”
Meski bertahun-tahun bersamaku, Nai selalu gemas ketika melihatku menghabiskan bergelas-gelas kopi dan berbatang-batang rokok. Baginya, yang kulakukan sebuah upaya bunuh diri pelan-pelan. Upaya mewujudkan pikiran buruk yang menempel dalam kepalaku bertahun-tahun. Aku selalu percaya akan mati di usia muda. Aku percaya, hidup tidak pernah baik-baik saja, lantas apa bedanya jika mati di usia muda atau tua, kita pernah merasakan sulit dan mudahnya. Nai selalu benci pembahasan tentang kematian.
“Cari orang lain yang bisa ajak kamu bicara tentang mati. Aku mau hidup, mau nikah, mau punya keluarga dan kamu malah ingin mati muda.”
Obrolan tentang kematian selalu berakhir dengan tatapan marah, kecewa dan membekukan suasana. Aku memeluknya, berharap pelukan mampu menjalarkan rasa hangat di tubuhnya, di hatinya dan mencairkan kebekukan di antara kami. Maaf, bisikku. Jangan bicara mati lagi ya, Bim, ucap Nai. Aku mempererat pelukanku, menghilangkan jarak di antara kami. Aku tak pernah ingin berjarak dengan Nai, tidak pernah. Sesenti pun tak pernah.
Kuletakkan cangkir teh di atas meja. Ken mengangkat kepalanya, menatapku lalu membenamkan wajahnya kembali, bersembunyi di tumpukan kedua kakinya. “Aku di kamar ya, kalo butuh apa-apa, bangunin aja,” kataku seraya berjalan menujunya, menepuk pundaknya, dan berjalan ke kamar.
Kenny gadis yang tangguh. Setidaknya cukup tangguh menyembunyikan rasa sakit dan kesedihannya di depan orang-orang. Kau tidak akan melihat Ken berjalan dengan mata bengkak atau lemas. Ken selalu menampilkan dirinya yang kuat di hadapan orang lain, tidak di hadapanku. Di depanku, Ken menjadi dirinya sendiri. Sosok yang kuat dan lemah sekaligus.
Kubagi rasahia kecil kepada kalian, jika seseorang selalu menunjukkan dirinya kuat di hadapan orang lain, dan di hadapanmu dia menangis, terlihat begitu rapuh, artinya, dia sangat memercayaimu. Kau harus menjaga kepercayaannya, jika tidak, dia akan pergi meninggalkanmu selamanya. Di hadapannya, kamu sama seperti lainnya, seseorang yang mendengar kulit permasalahan yang di hadapinya, dagingnya, dia sembunyikan, entah dibagi ke siapa.
Dari beberapa perempuan yang pernah kupacari, hanya Nai yang kupercayakan memegang kunci rahasiaku. Aku kerap menangis di pangkuannya, Nai membelai lembut kepalaku, mengecupnya, dan tidak berkata sepatah katapun hingga tangisku reda. Kamu tuh anak kecil, candanya dan itu membuatku sedikit terluka. Nai tidak paham, belum paham, ada jiwa anak kecil yang kubiarkan tumbuh di dalam kepalaku. jiwa kanak-kanak yang manja dan senang berbagai rahasia kepada ibunya.
Nai tidak paham, berbagi tangis dengan orang lain bukan perkara mudah bagiku. Aku merobohkan begitu banyak benteng. Untungnya, Ken tak pernah mengolok-olokku. Jika dia melakukannya, aku tidak tahu harus berlari kemana lagi.
“Kenapa kamu dan Ken tidak berpacaran? Kalian sangat dekat,” Tanya Nai. Aku merasakan aroma cemburu dari pertanyaannya.
“Kami berteman. Itu saja.”
Aku kadang memikirkan kenapa aku dan Ken tidak berpacaran. Kami sangat dekat, saling mengenal, saling percaya, lantas apa lagi yang kurang. Sampai hari ini aku tidak pernah bisa menjawabnya. Kubiarkan pertanyaan itu menggantung.
# # #
Ken duduk di kursi dekat jendela ketika aku kembali dari membeli sarapan. Aku beranjak ke dapur, menjerang air panas dan menyeduh teh. Kusodorkan semangkuk bubur dan secangkir teh untuknya. Ken bergeming. Mengalihkan pandangannya dariku, menatap jalan dari jendela. “Kusodorkan satu sendok bubur, “Mau disuapin, bilang dong,” godaku. Ken tersenyum tipis dan meraih sendok dari tanganku. Menarik mangkuk bubur lebih dekat ke arahnya. “Gue bukan bayi, Nyet!”
Setelah suapan ketiga, Ken meletakkan sendok di mangkuk. Mengambil gelas teh, menyeruputnya. Kupikir dia akan melanjutkan makannya. Ken malah diam, menatapku dengan tatapan nanar. Dipta, tanyaku. Ken mengangguk.
Dipta kekasih Ken, sudah dua tahun mereka bercaparan. Ken mengenalnya ketika bergabung di Kelompok pencinta alam. Dipta lelaki yang tak mengenal menyerah, bukan hanya soal gunung, tapi juga dalam mendapatkan Ken. Sudah sering Dipta menyatakan cintanya pada Ken, selalu berakhir dengan penolakan. Mereka justru berpacaran setelah lulus kuliah. Ken tidak pernah cerita padaku alasan kenapa akhirnya dia menerima Dipta, mungkin Ken melihat kesungguhan di mata lelaki itu. Mungkin, itu asumsiku saja.
Aku sering menangkap aura kemarahan dalam suara Dipta ketika berkumpul atau berpapasan di jalan. Belakangan baru kuketahui dari Ken, Dipta sangat cemburu kepadaku, kepada kedekatanku dan Ken. Dan suatu hari, aku mendengarnya langsung dari mulut Dipta. Dia mengajakku bertemu, pasti membicarakan Ken, apalagi memangnya. Aku dan dipta tidak berteman baik, tidak ada pembicaraan selain Ken tentunya.
“Sering gue berpikir, Ken cinta sama lo, yah, meski gue tau lo pacaran Nai. Cinta ya cinta aja kan, nggak peduli dia udah punya pacar atau belum,” katanya, langsung menembak inti permasalahan.
Aku menyulut rokokku, kubiarkan Dipta melanjutkan perkataannya. Kupikir banyak yang dia ingin ungkapkan, kepalanya mungkin sedang memiliki diksi yang tepat.
“Gue nggak suka melihat kedekatan kalian.”
“Aku bisa menarik diri. Ken sahabatku, aku ingin dia bahagia. Jika itu bisa membuatnya bahagia, aku akan menjauh darinya.”
“jangan, Ken akan membenciku.”
“Aku akan merahasiakan darinya. Aku cukup mahir menyjmpan rahasia.”
“jangan, Ken pasti tau. Lagian, Ken  membutuhkan lo, gue sendiri nggak tahu untuk apa, tapi dia sangat membutuhkan Lo.”
Lelaki itu langsung pergi setelah mengatakan itu kepadaku. Dia bahkan belum sempat mencicipi minuman pesanannya.
Ken kembali menarik kakinya, menekuknya, melingkari keduanya dengan tangannya. “Ada apa sama Dipta, tanyaku. Tembok kokoh di hadapanku hancur seketika, dihancurkan satu pertanyaan yang terlontar dari mulutku. Aku tahu, Ken hanya butuh ditanya, pertanyaan apa saja dan dia akan membeberkan semuanya.
Dipta melamarnya kemarin, meminta Ken menikah dengannya. Ken tak siap, belum siap membangun rumah tangga dengan seseorang. Dia masih ingin melangkah, terus berjalan, menelusuri banyak tempat, memilih hidupnya tanpa terbebani apapun. Dia ingin berjalan sendiri tanpa kekhawatiran akan seseorang yang menunggunya di rumah, yang membuatnya ragu dan akhirnya memilih pulang sebelum mimpi-mimpinya tercapai.
“Udah jelasin ke Dipta?” Ken menggeleng. “Ken, Dipta berhak tau alasannya dan kalau di benar-benar sayang sama kamu, dia pasti paham alasan kamu.”
“Dan kalau gue bener-bener sayang sama dia, harusnya gue bahagia kan, Bim. Bukan malah bingung dan lari. Bukah malah sembunyi di rumah lo.”
Ken benar, jika kita mencintai seseorang, bukankah kebersamaan dalam sebuah ikatan itu membahagiakan. Ken menyodorkan telepon genggamnya yang terus saja berkedip-kedip. Nama Dipta tertera di layar ponsel itu.
“Ken di rumah lo? tolong bilang sama Ken, dia boleh datang kapan aja saat dia udah siap. Satu lagi, Bim, tolong jagain Ken ya,” pinta Dipta.
Pasti, kataku, dan sambungan telepon terputus.
Hidup tidak pernah baik-baik aja kan, Kenny. Apa pun yang terjadi nanti, kita hanya perlu berjalan. Selama kita memiliki tempat untuk berbagi, meski hanya satu orang, semua akan lebih mudah. Kamu boleh datang dan pergi sesukamu, kamu tau kemana harus melangkahkan kakimu. Aku selalu ada, Ken. Selalu.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar