Surat kepada Kawan




Kawan,
Kukirimkan sebuah amplop cokelat ke rumahmu.

Kawan,
Ibuku sering sakit-sakitan, sudah sering kusaksikan dia megap-megap, wajahnya memucat dan hampir kehilangan nyawanya, tetapi tuhan masih berbaik hati memberinya umur panjang. Sering aku memikirkan bagaimana jika aku pergi jauh, bekerja dan menetap di sebuah kota, di pulau berbeda denganya. Kakakku sibuk dengan keluarga kecilnya. Adikku, yah, si bungsu belum paham betul bagaimana menjaga keluarga, dan pada akhirnya kuurungkan niat itu.

Aku khawatir, suatu hari, ibuku diserang mendadak penyakit yang bertahun-tahun menimpanya, napasnya satu-satu, sementara kakakku di rumahnya dan adikku masih bermain di luar. Aku khawatir tak ada yang menjaganya dan ayahku terlalu lemah jika harus mengurus semuanya.

kawan,
Ayahku hanyalah lelaki tua yang percaya, hidup akan baik-baik saja selama dekat dengan tuhan. Aku tak menyalahkannya. Kupikir, dia telah menelan banyak kekecewaan dalam hidupnya. Kegagalan bertubi-tubi dalam hidupnya, kesulitan yang harus ditanggungnya seorang diri membuatnya pasrah, menerima kondisi hidupnya yang tidak pernah membaik sampai sekarang. Dia menitipkan harapnya pada anak-anaknya, sayangnya, tak satupun dari kami berhasil. Gaji kakakku hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan kelaurganya. Aku, hanyalah lelaki kalah yang seringkali memilih pasrah pada hidup. Adikku, masih mencari jalan hidupnya.

Ayahku hanya lelaki tua yang lebih sering tidur lebih cepat dari ibuku. Dia selalu bangun di sepertiga malam, membaca banyak-banyak doa, melantunkan ayat-ayat Alquran hingga adzan subuh berkumandang. Pergi ke masjid dan menjadi imam hanya untuk beberapa orang. Berangkali, di umurnya yang telah senja, ayahku ingin berfokus ibadah. Cukup dunia yang mengalahkannya. Dia tak ingin kalah soal akhirat.

Kawan,
Aku pergi sementara. Menetap di sebuah kota, di mana aku tak mengenal siapa-siapa. Tak ada saudara, tak ada teman. Aku ingin hidup sendiri saja. Aku teramat lelah menitipkan hatiku pada orang lain. Sudah terlalu sering aku ditinggalkan, sudah cukup untukku percaya akan ada seseorang yang mau menemaniku di hidup yang tidak baik-baik ini. Aku pasrah.

Di sana, aku akan bekerja, mengumpulkan sedikit uang untuk kukirimkan ke keluargaku yang serba kekurangan dan menghabiskannya untuk hal-hal yang kusuka. Mungkin akan kutukarkan dengan berbotol-botol minuman, kucicil setiap hari agar bisa mabuk selama dua minggu dalam satu bulan.

Kawan,
Kukirimkan sebuah amplop cokelat kepadamu, berisi surat-surat untuk ayahku, ibuku, kakak dan adikku serta nomor pin tabunganku yang jumlahnya tak seberapa. Aku berharap, jika ibuku sakit, uang itu mampu menolongnya. Sisanya, jika masih tersisa, jangan berikan pada ayahku, dia tak pandai, tak pernah pandai mengatur uang. Berikan pada kakakku, biar dia menyimpannya.  

Aku tak berniat pergi dan menghilang selamanya, tapi kurasa waktuku tak banyak. Aku merasa saatnya telah tiba. Jika aku tak mengabarimu dalam waktu lama, tolong berikan amplop ini ke keluargaku.

Semoga kamu tidak terbebani, kawan.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar