Segala hal berkaitan denganmu
adalah kemurungan. Kamu dihinggapi semacam penyakit murung, dinaungi awan
mendung yang membuatmu selalu sendu. Yang membuat orang-orang di dekatmu turut menjadi
sendu, kata temanku yang masih saja heran denganku. Padahal, kami telah
berteman lama dan sudah mengenal satu sama lain.
Tulisanmu, misalnya. Selalu tentang
kesedihan-kesedihan. Tidakkah kamu bisa menulis secuil saja tentang
kebahagiaan. Obrolanmu pun tak jauh dari dua hal, kehilangan dan kematian,
cerocosnya tanpa henti. Membuatku bertanya-tanya, dari mana energi sebesar itu
datang dan merasuk dalam tubuhnya hingga dia dapat menceramahiku tanpa henti.
Ketika melakukan perjalanan, kamu
hanya memilih duduk-duduk di depan kamar. Membiarkanku dan teman-teman
mengunjungi satu tempat ke tempat lainnya. Kamu memilih duduk dan mengopi,
menghabiskan bergelas-gelas kopi, berpuluh-puluh batang rokok. Jangan batasi
dirimu dari kebahagiaan, katanya lagi, membuat bingung bagaimana merespons.
Aku memang membatasi diriku dari
banyak hal, tetapi aku merasa cukup. Sekadar bertegur sapa dengan teman kantor,
sesekali mengobrol 2-3 jam dengan teman, sesekali menghabiskan waktu di kafe,
di taman, di warung inggir jalan. Meghabiskan waktu dengan mengurung diri di
kamar, membaca buku, menonton film, mendengarkan musik, menghabiskan bergelas-gelas
kopi, menghisap puluhan batang rokok. Kupikir itu cukup dan aku tak ingin
lebih.
Tidak ada hal-hal besar yang
ingin kulakukan. Aku menjaga diriku agar tidak terlalu berharap banyak dalam
hidup ini. Aku tak tahu dan tak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh dari impian
yang tinggi serta tak tahu bagaimana rasanya memenangkan sebuah peperangan
besar.
Awalnya, kupikir, aku sejenis
makhluk aneh saat melihat teman-temanku memiliki porsi cukup besar tentang
harapan dan impian, sedangkan aku tidak. Aku memiliki sedikit keinginan,
harapan dan kebahagiaan, hanya saja, porsinya sangat kecil untuk tidak
dikatakan tidak ada. Kehilangan dan kematian mendominasi seluruh alam pikirku,
tumbuh subur di sana.
Aku memang tak pernah
menyingkirkan atau menepus kedua hal itu dalam otakku. Aku menerimanya begitu
saja, membiarkannya masuk, bertunas lalu tumbuh subur dan pelan-pelan menyingkirkan
banyak hal dalam otakku. Merebut porsi banyak hal dalam hidupku. Aku tak ingin
berperang dengan kedua hal itu. Aku ingin bersahabat, karenanya kubiarkan
mereka menjajah isi kepalaku. Membuatku bertekuk lutut di bawah kedua hal itu.
Namun, aku selalu bahagia saat
teman-temanku bahagia. Bersedih saat teman-temanku dilanda kesedihan, meski aku
tak melakukan apa-apa ketika mereka mengalami kejadian itu.
Aku membuat peraturan sederhana
untuk diriku, jika tidak bisa membantu temanmu, setidaknya tidak perlu
menyusahkan mereka. Mereka, yang memiliki impian dan harapan, bisa jatuh amat dalam.
Tak perlu kutambah-tambahkan beban mereka dengan bebanku yang tak seberapa. Mereka
juga amat berbahagia ketika impiannya tercapai, tak perlulah kukotori
kebahagiaan mereka dengan hidupku.
Perhatian, bagiku, tak lebih dari
sebuah beban. Yang tak bisa kuberikan, yang tak mampu kubagi dengan orang lain.
Aku tak ingin memberi perhatian ke orang lain agar tidak ada yang
memerhatikanku. Kurasa cukup. Aku dan diriku, cukup.
Sendiri saja cukup.
0 comments:
Posting Komentar