kebetulan


Dia mulai menjelaskan arti kebetulan. Baginya, di dunia ini, di hidup ini, kebetulan hanyalah efek kejut sementara. Efek kejut yang membuat seseorang bahagia, menangkup kedua tangannya di bibir, menutupi tawa, menyisakkan wajah penuh rona. Efek kejut yang membuat seseorang terluka, jatuh tersungkur, menangis, menahan geram, mengepal tangan dengan gigi bergeletuk .
Tidak ada yang benar-benar kebetulan. Manusia terhubung dengan berbagai cara. Pertemanan misalnya, terhubung dengan beragam cara,  di tempat kerja, pesan singkat nyasar, komentar di media sosial, hobi, dan hal-hal lainnya. Tidak ada yang benar-benar kebetulan, hanya efek kejut sementara, membuatnya seolah-olah kebetulan, nyatanya tidak.
“Hujan pernah menghubungkanku dengan seseorang,” katanya.
Entah, apakah bagian ini merupakan caranya menjelaskan arti kebetulan baginya atau dia hanya ingin bercerita. Tentang seseorang yang belum pernah diceritakannya kepadaku.
“Caranya?”
“Hujan deras, aku berteduh di halte, menunggu bus. Dia berteduh di halte, menunggu bus. Kami bertemu, saling tatap, sekelebat, tak lebih dari tiga detik. Dan duduk bersisian di dalam bus,” katanya menjelaskan.
“Bagian mana yang kamu sebut bukan kebetulan? Semuanya tampak kebetulan.”
“Kupikir awalnya begitu. Kami bertemu, saling tatap, duduk bersisian. Pertemuan-pertemuan berlanjut setelah itu, lalu memutuskan berpacaran dan hitungan bulan akan menikah.
Dia melihat seragam kerjaku, bertanya apakah mengenal seorang perempuan, kukatakan ya, aku mengenalnya meski kami berbeda divisi. Dia bertanya apakah bus ini mengarah ke kantorku, kujawab ya. Dia mengatakan tak pernah menaiki bus, baru kembali dari luar negeri. Tak hapal jalan Jakarta. Alasan yang membuatnya menaiki bus hanya karena adiknya meninggalkan file presentasi yang akan digunakannya siang ini. Tak cukup waktu jika harus mengambilnya di rumah lalu kembali ke kantor, jelasnya padaku.
Jika aku tak mengenal adiknya, aku tak berani berbicara dengannya. Aku termasuk wanita yang tidak berani berbicara dengan sembarang orang.”
“Yang kamu bicarakan, seluruhnya, hanya menjelaskan kebetulan. Kupikir, kamu hanya berusaha mempertahankan teorimu saja,” sergahku.
“Bayangkan, jika aku tak mengenal adiknya, jika dia tak menegurku, hubungan ini tidak ada. Tidak ada,” katanya sambil memberi penekanan pada kata ‘tidak ada’.
“Atau begini saja. Anggap saja, kamu tak mengenal adiknya tapi kamu menyukainya hanya saja kamu tak berani menegurnya. Dia bertanya kepadamu, memberanikan diri menegurmu. Kamu menyukai perbincangan dengannya. Kupikir, itu cukup menjelaskan kenapa kalian memiliki hubungan. Tidak perlu teori kebetulan dan terhubung. Kenapa dibikin rumit?”
“Kamu masih saja seperti anak kecil yang percaya keajaiban. Seperti seseorang yang ingin berbahagia tanpa melakukan apa pun. Tiba-tiba bahagia, tiba-tiba kaya, tiba-tiba menemukan perempuan yang kamu cintai dan mencintaimu lalu menikah. Semua serba tiba-tiba.” Nadanya sedikit naik saat mengatakan itu kepadaku, wajahnya cemberut.
“Tidak ada hubungannya antara percaya kebetulan dan kekanak-kanakan. Aku memang berusaha membiarkan jiwa kanak-kanakku terus tumbuh dalam diriku. Aku tak ingin menjadi dewasa dengan membunuh jiwa kanak-kanakku. Tapi ini soal berbeda. Terhubung dan kebetulan, dua hal berbeda.”
“Ini yang tidak kusuka darimu. Terlalu bermain-main sama hidup, terlalu asik dengan duniamu sendiri. Udah, lupain aja soal kebetulan dan terhubung.”
“Terhubung saja tidak cukup. Orangtuaku mengenal orangtuamu. Aku mengenal baik keluargamu, bermain bersamamu. Meghabiskan waktu bersamamu. Sayangnya, terhubung saja tidak cukup. Kita tak pernah benar-benar terhubung. Kamu terhubung dengannya, aku. . .  terus berusaha terhubung denganmu tapi tak pernah sampai, tak bisa sampai. Lalu, apa pentingnya buatku kebetulan dan terhubung. Keduanya tak membuat kita menyatu.”
“Kita terhubung, sejak dulu pun terhubung. Sebagai sahabat, sebagai kakak buatku. Hanya itu.”


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar