Banyak yang mengatakan, orang
sepertiku sepantasnya hidup bahagia. Katanya, aku dikarunia banyak kelebihan
dan tak pernah satupun dari kelebihan itu kuupayakan sungguh-sungguh. Seperti jatuh
begitu saja dari langit. Seperti sedang lapar, ada yang membawakan makanan. Seperti
sedang ingin merokok, malas membeli ke warung, seorang teman datang berkunjung
membawakan rokok kesukaanku.
Suka menulis dan bekerja sebagai
penulis di media massa, begitu kata mereka. Hal yang tak pernah benar-benar
serius aku pelajari. Mereka benar, aku kuliah jurusan komunikasi tetapi tak
mendapat apa-apa selama kuliah itu. Aku berkecimpung di pers mahasiswa, tetapi
waktuku lebih banyak dihabiskan bermain, ngopi, dan numpang tidur di
sekretariat. Minim menulis, minim membaca, banyak tertawa.
Bahkan, ketika ditanya ingin
bekerja apa selepas lulus, aku mengatakan ingin jadi petani atau tukang kayu. Bercocok
tanam di sawah, memberi makan ikan lele. Tidur di saung, memasak nasi liwet,
makan dengan lahapnya. Tidur ditemani angin yang bertiup pelan. Memberi makan
ikan lagi, lalu pulang ke rumah. Begitu penjelasanku. Tak heran, jika
teman-temanku sering mengejekku karena terjun ke industri media, ejekan yang
diam-diam membuat mereka sebal. Yang jarang menulis justru mudah mendapat
pekerjaan sebagai penulis.
Mereka benar dan salah. Benar,
aku suka menulis. Salah, karena bekerja di industri media kulakukan hanya untuk
menutupi kebutuhan hidup. Aku tak suka menulis berita.
Mereka juga mengatakan, aku
diberi kelebihan mudah dekat dengan siapa saja. Sekali bertemu, langsung klik,
tak jarang yang langsung curhat. Maka tak heran, di kampus aku sering dikelilingi banyak
teman, mayoritas perempuan. Anggota baru dalam organisasi pun banyak yang
curhat, mereka menjadikanku senior tempat bercerita tentang percintaan mereka,
bukan perkara tulis-menulis yang barangkali mereka anggap tidak aku kuasai.
Banyak orang ingin disenangi, aku
tidak. Bukan karena memiliki kelebihan itu, aku bahkan tak tahu jika itu
termasuk dalam kategori kelebihan seseorang. Aku hanya tidak tahu cara agar
disenangi orang lain. Aku, ya, begini saja.
Kelebihan lainnya yang sering
dikatakan teman-temanku, aku memiliki kebebasan. Tidak takut kelaparan, tidak
takut kesepian. Kelaparan dalam arti, aku bisa saja meninggalkan sebuah
pekerjaan dengan alasan bosan. Menganggur berbulan-bulan. Pindah ke satu tempat
kerja, bosan, berhenti, menganggur, mencari kerja lagi, bosan, berhenti, dan
menganggur.
Ada fase yang lupa kutuliskan di bagian tengah
kalimat itu, terkadang aku menikmati menjadi penganguran. Alasanya mudah saja,
malas mencari kerja.
Tidak takut kesepian. Menurutku,
itu bukan kelebihan, tepatnya kutukan. Semacam kesialan-kesialan yang dibawa
atau tertanam di diriku sejak kecil. Mudah bergaul, mudah disenangi, tak menjamin
dirimu kesepian bukan. Kamu bisa berdiri di tengah kerumunan orang yang sedang
menonton konser, tapi tetap saja mereka kesepian.
Sepi ada dalam dirimu, memilihmu.
Sunyi, sesuatu yang kaupilih.
Terkadang, aku memilih sunyi.
Menghindar dari riuhnya hidup. Namun, sepi, aku tak memilihnya, dia memilihku. Seperti
Peter Parker yang disengat laba-laba, dia tidak memilih disengat, tetapi
laba-laba itu menyengatnya. Kupikir begitu perumpamaannya.
Satu-satunya kelebihanku, aku
memiliki sejuta alasan untuk tidak melakukan apa-apa. Tapi satu yang kupilih; malas.
Aku diberkahi rasa malas yang tidak habis-habis. Malas makan hingga dua hari
dan membuatku sakit. Malas bepergian, berjalan ke tempat baru, travelling
untuk melihat hal-hal baru dan meninggalkan penatnya hidup yang itu-itu saja. Malas
mencari pekerjaan baru setelah resign, membuatku tak memiliku asset
atau tabungan dan kembali bekerja ketika tidak lagi memiliki uang untuk sekadar
membeli rokok dan kopi.
Dan malas hidup.
0 comments:
Posting Komentar