“Aku selalu ingin menjelma
menjadi kupu-kupu.”
Dia menjulurkan kepalanya,
melihat orang lalu lalang, melihat parkiran, melihat segala hal yang mungkin
hanya tampak bintik-bintik kecil dari atap apartemennya. Melihat lampu-lampu
kota yang terang benderang, gedung-gedung kumuh yang terhimpit gedung-gedung
tinggi menjulang, semrawut wajah ibu
kota. Dia mulai berpikir, apa yang ada di kepala pemilik gedung itu dan apa
yang ada di kepala orang yang tinggal di tempat kumuh itu. Dirinya lelah
menebak-nebak, menabak isi kepalanya saja tak mampu.
Dia menarik kepalanya, merebahkan
tubuhnya, menatap langit malam. Dia suka duduk-duduk atau berbaring di lantai
semen bagian teratas apartemennya, membuatnya merasa begitu dekat dengan
langit, meski langit masih teramat jauh untuk digapainya, amat jauh.
Dia menggapai-gapai langit
seperti seseorang yang tenggelam di lautan, tangannya menarik-narik udara,
meminta pertolongan. Sayangnya, langit tak datang kepadanya, tak memberinya
pertolongan.
Dia pasrah, menjatuhkan kembali
tangannya pada lantai semen.
“Kupu-kupu tak bisa hidup lama,
kamu tahu itu,” kataku sambil meletakkan cangkir teh hangat di samping
tubuhnya.
Dia tetap berbaring, tak terusik
dengan kedatanganku. Tak tertarik menyentuh teh hangat yang kubawakan untuknya.
Dia memejamkan mata, kedua tangannya bergerak, seperti gerakan seorang conductor
yang memimpin puluhan pemain musik. Gerakannya berubah, tangan kirinya seperti
memegang sesuatu, tangan kanannya bergerak pelan, pelan, lalu cepat dan semakin
cepat, seperti seseorang yang sedang menggesek dawai biolanya.
Kedua tangannya jatuh ke lantai,
menyenggol cangkir teh, membuat isinya sedikit tumpah. Dia membuka matanya,
bergerak mengambil posisi sila. “Karenanya, aku tak suka didoakan berumur panjang.
Tak semua orang ingin hidup lama,” katanya sambil mengambil cangkir teh dari
tanganku. Cangkir tehnya yang sedikit
bergerser tadi tak digubrisnya, seolah tak ada.
Diteguknya teh itu lalu
diletakkan cangkirnya di lantai. Dia menarik tanganku, memintaku menahan
tubuhnya. Dia ingin menjulurkan lebih banyak anggota tubuhnya. Menikmati angin
kencang menampar-nampar tubuhnya yang selama ini hanya menampar wajahnya. Aku menggeleng,
dia menatapku dengan tatapan memelas. Sekali saja, kata matanya. Isyarat yang
tak bisa kutolak.
“Jika ingin bunuh diri, jangan di
hadapanku. Aku tak ingin hidup dengan bayang-bayang ketakutan.”
Aku menarik tangannya kuat-kuat.
Hanya 45 detik, tetapi terasa begitu panjang. Kausku basah dengan keringat,
kupikir bukan lantaran menahan beban tubuhnya tetapi bayangan ketakutan yang
membuat tubuhku lebih banyak memproduksi keringat.
“Lain kali lebih lama yah,” ucapnya
sambil tersenyum. Senyuman yang membuatku sedikit kesal.
Aku selalu membayangkan sepotong
awan hitam bertengger di kepalanya. Awan hitam
yang kalian lihat di langit ketika mendung tiba. Hanya mendung dan tak
pernah hujan apalagi mengeluarkan halilintar. Awan yang membuatnya selalu
sendu, membuatnya lupa cara bahagia.
Tidak ada hal-hal yang subur di
kepalanya, selain kematian yang terus mengakar. Aku heran, bagaimana sebuah
pohon kematian dapat menancapkan akarnya kuat-kuat tanpa hujan dan sinar
matahari. Sebuah pohon langka, yang mungkin hanya hidup di kepala seseorang. Akarnya
menyerap habis seluruh energi kebahagiaan. Menyerap habis keinginan-keinginan
dan hanya menyisakkan satu keinginan; kematian.
“Bukan seperti ini kematian yang
kuinginkan dan bukan di hadapanmu. Akan ada saatnya, ada caranya. Aku tak tahu
pasti. Saatnya tiba, aku akan sembunyi-sembunyi dan meninggalkan pesan untukmu.”
0 comments:
Posting Komentar