Sehari sebelum keberangkatannya,
dia mengajakku bertemu. Di sebuah kafe tempat biasa kami bertemu. Sekadar pamit,
katanya. Aku sendiri tak tahu betul apakah kepergiannya kali ini dalam jangka
waktu lama atau tidak. Biasanya, jika dia pergi ke satu tempat, dia hanya akan
mengirimkan pesan pendek. Menceritakan keindahan dan keburukan tempat itu. Merekomendasikan
makanan dan tentunya kopi, hal yang sama-sama kami senangi.
Pertemuan kali ini terasa sangat
berbeda, seperti sebuah perpisahan panjang. Pamit bagiku dan baginya, seperti
isyarat perpisahan yang tak tahu kapan akan bertemu kembali. Aku dan dia tak suka
mengucap salam, tak pernah berjabat tangan apalagi berpelukan. Kami tak suka
ritual semacam itu, kami tak suka perpisahan. Pada perjumpaan-perjumpaan biasa,
kami hanya saling melambai tangan. Ada harap pada lambaian tangan itu, harapan
bertemu kembali, tertawa lagi bersama.
“Gue bakal kangen sama lo,”
katanya sambil menaikkan kedua kakinya ke atas bangku, seperti berjongkok. Menyandarkan
tubuhnya, menatap langit-langit kafe.
“Nggak usah sok melow, nggak
cocok sama lo,” kataku sambil menatapnya.
Dia menurunkan kedua kakinya,
mencondongkan tubuhnya, menatapku dalam-dalam. Mata itu, mata yang menyimpan
luka. Seperti lorong gelap yang tak berujung. Jangan berharap ada cahaya yang
menuntunmu keluar. Sekali terjebak, kamu tak bisa keluar. Merutuki diri,
berpasrah diri. Mati di dalam lorong gelap itu.
Aku sudah terbiasa dengan tatapan
itu. Saat dirinya mulai terjebak di lorong gelap, aku menariknya keluar. Menanggapi
curhatnya yang pedih dengan kekonyolan-kekonyolan. Celetukkan yang tidak
penting, komentar asal-asalan justru membuatnya berhasil menemukan cahaya di
lorong dirinya yang gelap. Barangkali, itu yang membuat kami bisa berteman. Selalu
jadi cahaya buat gue, katanya. Hal yang tak kumengerti sebelumnya. Setelah berteman
lama dengannya membuatku paham arti kalimat itu.
“Nggak ada lagi tempat pulang. Nggak
ada lagi alasan untuk tetap tinggal. Semua hilang, semua pergi. Gue harus pergi
dan sudah waktunya untuk pergi.”
Dia menarik diri, kembali
mengangkat kedua kakinya, bersandar, menatap langit-langit kafe.
“Kenapa harus? Siapa yang
mengharuskan? Gue nggak ngerti omong kosong lo,” cecarku dengan nada sedikit
tinggi. Sebal melihatnya kehilangan harapan seperti itu.
Aku tahu benar apa yang dia
maksud alasan tentang pulang. Tidak ada rumah, tidak ada orangtua yang
menunggunya, tidak ada kekasih yang siap menjemputnya di bandar udara saat
dirinya kembali dari sebuah perjalanan. Luka yang ditinggalkan mantannya,
perpisahan orangtuanya, membuatnya merasa tak lagi memiliki tempat pulang. Dorongan
yang sama, alasan yang sama baginya untuk pergi. Entah kemana dan berapa lama.
Aku tak ingin mengucapkan kata teman
sebagai alasan untuknya kembali. Aku . . . tak ingin jadi alasan untuknya
kembali. Kami pernah sama-sama berjuang melewati luka. Luka yang berbeda
tentunya. Kehilangan boleh jadi sama bentuknya, tetapi rasa, jelas beda adanya.
Baginya dan bagiku, kehilangan memiliki makna yang berbeda. Cara kami melihat,
cara kami berpikir, tentu tak sama. Menyikapi perpisahan pun berbeda. Tapi, kami
berjuang bersama. Kenapa kami tidak bisa melewati kesulitan ini sekali lagi. Sekali
lagi, sekali lagi, sekali lagi, terus sekali lagi. Sampai entah.
“Gue hanya ingin sendiri. Melewati
masa kelam gue sendiri. Gue harus terus
berjalan, kalau bisa berlari. Gue nggak tahu langkah gue akan bermuara kemana,
berakhir seperti apa. Tapi yang jelas, gue udah mantap untuk pergi.”
“Di sini pun nggak ada yang mengusik
lo. Pernah gue ganggu lo saat pengen
sendiri? Tapi, kalo lo tetap mau pergi, silakan pergi. Nggak perlu kasih tau
gue kemana tujuan lo dan kapan lo kembali.”
Mata lorong gelap itu kini
memerah, setitik air menghiasinya. Pertahanan yang dibangunnya sejak duduk di
kafe ini jebol juga. Badai yang berkecamuk di hatinya meruntuhkan bendungan air
matanya. Aku memalingkan muka. Sebal dan malas melihatnya menangis.
Dia bangkit dari duduknya,
memelukku. Membiarkan air matanya jatuh, membasahi kausku. Membiarkan tatapan-tatapan
heran pengunjung kafe melihat kami.
“Kapan lo berangkat?” tanyaku
setelah pelukan itu mengendur. Setelah air matanya mengering dan dia kembali ke
tempat duduknya.
“Besok malam, jam 9.”
“Ngopi di taman, yuk.”
Aku menarik tangannya. Mengajaknya
menikmati malam terakhirnya di negeri ini. Jika ini perpisahan, aku ingin ini
menjadi perpisahan yang menyenangkan. Perpisahan yang manis. Perpisahan yang
akan kami kenang tahun-tahun mendatang. Aku tak ingin menjadi alasannya pulang.
Tetapi, semoga kenangan malam ini membuatnya sadar, ada seorang teman yang
selalu menunggunya pulang. Menunggunya bercerita berjam-jam. Memberi komentar-komentar
konyol dan menemaninya menyesap kopi di taman.
0 comments:
Posting Komentar