Perempuan itu melemparkan
tubuhnya ke atas kasur, menatap langit-langit kamar. Membuang tatapannya ke
arah kanan, menatap travel bag miliknya yang tergeletak di atas lantai. Semalam,
sebelum tidur, dia mengemas barang-barang yang akan dibawanya dalam perjalanan.
Beberapa helai pakain, parfume, dan sebuah kotak berwarna cokelat. Di dalamnya,
sebuah jam tangan berornamen pesawat
terbang berwarna biru. leather cokelat.
Dia selalu membayangkan, pria
yang akan ditemuinya nanti adalah seorang pilot, dirinya menjelma co-pilot.
Bersamanya, dia memercayakan hidupnya, membiarkan sang pilot menerbangkan hidup
mereka, memastikan pendaratan yang aman dan nyaman. Saat pilot lelah, dia
selalu siap mengambil perannya. Meringankan beban sang pilot, membiarkannya
beristirahat.
Separuh hatinya sudah pergi
menemui pria itu, sebagian lagi terpaku pada sosok laki-laki baru yang dikenalnya
beberapa minggu lalu. Laki-laki menemaninya mengobrol berjam-jam, mendengarkan
curhatnya, membalas pesan-pesan singkatnya. Kepadanya, dia percayakan sebagian
kecil rahasianya. Tentang luka-luka masa lalu, tentang harapan-harapannya yang
takut dia wujudkan. Kepadanya, ada sedikit harap, hanya sedikit, karena
sebagian besar harapnya masih tertuju pada orang yang sama, yang dikenalnya bertahun-tahun
lalu.
Pria yang sempat dia lepaskan
genggamannya, tetapi tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Pria yang
menemaninya bertahun-tahun, yang mengajari banyak hal tentang hidup. Pria yang
diinginkannya tapi tak pernah memberinya kepastian. Perempuan itu pernah
mengutarakan perasaannya dua tahun lalu. Tak ada jawaban, tak ada kepastian.
Sejak hari itu, dia merasa hidupnya berjalan di tempat.
Sesaat setelah terbangun dari
tidur, ragu mengetuk hatinya. Mempertanyakan pilihannya, tepat atau tidak,
salah atau benar. Dia tidak bisa membayangkan risiko-risiko yang menantinya di
depan. Akankah pria yang ditemuinya nanti menerimanya, dan dia harus melepaskan
laki-laki yang sudah dititipkannya segenggam rahasia. Akahkah pria itu
menolaknya, meski begitu, tidak ada
jaminan, laki-laki baru dalam hidupnya itu tetap menerimanya seperti semula.
Perempuan itu tiba-tiba saja
dihinggapi perasaan bersalah. Merasa begitu egois, menginginkan kepastian
tetapi membiarkan orang lain tanpa kepastian. Dia merasa takut, merasa rapuh.
Jatuh tanpa ada parasut, seperti bunuh diri saja.
Namun, dia sadar satu hal, dia
harus tetap pergi. Harus menuntaskan apa yang belum tuntas, menyelesaikan apa
yang seharusnya diselesaikan. Dia ingin jawaban, dia butuh jawaban yang
didengarnya langsung dari Pria itu. Jawaban yang menentukan hidupnya.
bersamanya atau melepaskan harapan-harapannya. Memulai hidup baru, menumbuhkan
harap baru. Meski tak pernah tahu, kapan dan kepada siapa hatinya bermuara.
Dia bangkit dari kasur, mengambil
travel bag, mengunci pintu rumah, masuk ke dalam taksi, menuju bandar
udara. Dalam hati dia berdoa semoga dikuatkan. Dia hanya butuh jawaban, butuh
kepastian.
# # #
Laki-laki itu berkali-kali
mengecek aplikasi pesan di telepon genggamnya. Tidak ada kabar, tidak ada
pembicaraan sederhana, tentang cuaca, tentang makanan, tentang kesedihan dan
hal-hal konyol yang sering mereka lakukan berdua. Dia tahu, ada bayang yang
selalu menutupi kehadirannya. Bayangan yang mengganggu pikirnya. Perempuan itu tak
pernah menyebut namanya, hanya sekali bercerita tentangnya. Namun dia tahu, sebagian diri perempuan itu
terjebak di masa lalu.
Hati, jika terluka, entah kapan
sembuhnya. Dia tak seperti luka gores, yang dapat kau torehkan obat merah lalu
diperban. Tidak ada obat mengenai luka itu dan lelaki itu, tak ingin selamanya menjadi bayang-bayang. Hidup
dalam bayang-bayang seseorang.
Laki-laki itu memutuskan pergi. Dengan
sebaris kalimat yang dia kirimkan ke perempuan itu.
‘selamat jalan,
harap
terbanglah,
terbanglah
atau tenggelam”
0 comments:
Posting Komentar