“Kamu tidak bisa melanjutkan perjalanan dengan koper sebanyak itu.”
Aku menatap koper-koper di hadapanku, bertumpuk-tumpuk, membuatku terseok-seok  mendorongnya. Aku melihat ke belakang, barisan koper-koper memanjang, seperti antrean. Begitu banyak beban yang harus kubawa, namun aku tak pilihan selain membawanya.
“Aku tak punya alasan meninggalkan koper-koperku.”
“Kita selalu punya alasan melakukan hal-hal bodoh. Kenapa begitu sulit membuat alasan untuk hal baik.”
Dia benar, aku harus memulai langkahku dengan hanya membawa sedikit koper. Mempermudah langkahku, mempermudah diriku dalam menentukan pilihan-pilihan nantinya. Garis tahun 2016 tepat di depan mata, kaki-kakiku masih saja sulit melangkah. Terlalu banyak beban yang kubawa dan tak berani meninggalkannya.Bukan beban 2015 saja, tetapi beban-beban puluhan tahun lalu.
Hidup ini lucu, Nak. Kita sering merasa berjalan di tempat, tetapi jika kamu tengok ke belakang dan melihat dirimu hari ini, banyak sekali yang berubah. Terus berjalan, nak, meski dengan kaki-kaki yang terluka, kata ibuku suatu pagi.
Malam ini, saat sorak-sorai bergemuruh, letusan kembang api mewarnai langit, aku masih memilih, hal apa saja yang paling kubutuhkan 2016 nanti. Koper mana saja yang harus kubawa dan kutinggalkan. Koper Kesedihan, koper luka, koper kekecewaan yang jumlahnya paling banyak, akan kutinggalkan. Aku memasukkan sedikit  luka, kesedihan dan kekecewan dalam satu koper. Aku membutuhkannya, mereka berperan banyak dalam hidupku.
Koper-koper kebahagiaan sebagian besar kutinggalkan. Kupikir, aku tak membutuhkan kenangan-kenanagan indah terlalu banyak. Tidak baik terus-terus mengenang masa lalu, meski tentang kebahagiaan.
Koperku tetap banyak, koper kosong. Semoga kesedihan, luka dan kecewa tak mengisi banyak koperku di tahun 2016 nanti. Semoga bahagia cukup egois, mengambil porsi lebih banyak setelah bertahun-tahun selalu kalah dengan luka.
Tak mudah berjalan dengan kaki-kaki yang terluka. Mungkin, aku akan banyak singgah, menarik kaki-kakiku yang enggan berjalan, memaksanya terus berjalan. Mungkin langkahku tak akan banyak, tapi satu hal yang pasti, aku melangkah, tidak berjalan di tempat.


Segala hal berkaitan denganmu adalah kemurungan. Kamu dihinggapi semacam penyakit murung, dinaungi awan mendung yang membuatmu selalu sendu. Yang membuat orang-orang di dekatmu turut menjadi sendu, kata temanku yang masih saja heran denganku. Padahal, kami telah berteman lama dan sudah mengenal satu sama lain.
Tulisanmu, misalnya. Selalu tentang kesedihan-kesedihan. Tidakkah kamu bisa menulis secuil saja tentang kebahagiaan. Obrolanmu pun tak jauh dari dua hal, kehilangan dan kematian, cerocosnya tanpa henti. Membuatku bertanya-tanya, dari mana energi sebesar itu datang dan merasuk dalam tubuhnya hingga dia dapat menceramahiku tanpa henti.
Ketika melakukan perjalanan, kamu hanya memilih duduk-duduk di depan kamar. Membiarkanku dan teman-teman mengunjungi satu tempat ke tempat lainnya. Kamu memilih duduk dan mengopi, menghabiskan bergelas-gelas kopi, berpuluh-puluh batang rokok. Jangan batasi dirimu dari kebahagiaan, katanya lagi, membuat bingung bagaimana merespons.
Aku memang membatasi diriku dari banyak hal, tetapi aku merasa cukup. Sekadar bertegur sapa dengan teman kantor, sesekali mengobrol 2-3 jam dengan teman, sesekali menghabiskan waktu di kafe, di taman, di warung inggir jalan. Meghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar, membaca buku, menonton film, mendengarkan musik, menghabiskan bergelas-gelas kopi, menghisap puluhan batang rokok. Kupikir itu cukup dan aku tak ingin lebih.
Tidak ada hal-hal besar yang ingin kulakukan. Aku menjaga diriku agar tidak terlalu berharap banyak dalam hidup ini. Aku tak tahu dan tak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh dari impian yang tinggi serta tak tahu bagaimana rasanya memenangkan sebuah peperangan besar.
Awalnya, kupikir, aku sejenis makhluk aneh saat melihat teman-temanku memiliki porsi cukup besar tentang harapan dan impian, sedangkan aku tidak. Aku memiliki sedikit keinginan, harapan dan kebahagiaan, hanya saja, porsinya sangat kecil untuk tidak dikatakan tidak ada. Kehilangan dan kematian mendominasi seluruh alam pikirku, tumbuh subur di sana.
Aku memang tak pernah menyingkirkan atau menepus kedua hal itu dalam otakku. Aku menerimanya begitu saja, membiarkannya masuk, bertunas lalu tumbuh subur dan pelan-pelan menyingkirkan banyak hal dalam otakku. Merebut porsi banyak hal dalam hidupku. Aku tak ingin berperang dengan kedua hal itu. Aku ingin bersahabat, karenanya kubiarkan mereka menjajah isi kepalaku. Membuatku bertekuk lutut di bawah kedua hal itu.
Namun, aku selalu bahagia saat teman-temanku bahagia. Bersedih saat teman-temanku dilanda kesedihan, meski aku tak melakukan apa-apa ketika mereka mengalami kejadian itu.
Aku membuat peraturan sederhana untuk diriku, jika tidak bisa membantu temanmu, setidaknya tidak perlu menyusahkan mereka. Mereka, yang memiliki impian dan harapan, bisa jatuh amat dalam. Tak perlu kutambah-tambahkan beban mereka dengan bebanku yang tak seberapa. Mereka juga amat berbahagia ketika impiannya tercapai, tak perlulah kukotori kebahagiaan mereka dengan hidupku.
Perhatian, bagiku, tak lebih dari sebuah beban. Yang tak bisa kuberikan, yang tak mampu kubagi dengan orang lain. Aku tak ingin memberi perhatian ke orang lain agar tidak ada yang memerhatikanku. Kurasa cukup. Aku dan diriku, cukup.
Sendiri saja cukup.

Banyak yang mengatakan, orang sepertiku sepantasnya hidup bahagia. Katanya, aku dikarunia banyak kelebihan dan tak pernah satupun dari kelebihan itu kuupayakan sungguh-sungguh. Seperti jatuh begitu saja dari langit. Seperti sedang lapar, ada yang membawakan makanan. Seperti sedang ingin merokok, malas membeli ke warung, seorang teman datang berkunjung membawakan rokok kesukaanku.
Suka menulis dan bekerja sebagai penulis di media massa, begitu kata mereka. Hal yang tak pernah benar-benar serius aku pelajari. Mereka benar, aku kuliah jurusan komunikasi tetapi tak mendapat apa-apa selama kuliah itu. Aku berkecimpung di pers mahasiswa, tetapi waktuku lebih banyak dihabiskan bermain, ngopi, dan numpang tidur di sekretariat. Minim menulis, minim membaca, banyak tertawa.
Bahkan, ketika ditanya ingin bekerja apa selepas lulus, aku mengatakan ingin jadi petani atau tukang kayu. Bercocok tanam di sawah, memberi makan ikan lele. Tidur di saung, memasak nasi liwet, makan dengan lahapnya. Tidur ditemani angin yang bertiup pelan. Memberi makan ikan lagi, lalu pulang ke rumah. Begitu penjelasanku. Tak heran, jika teman-temanku sering mengejekku karena terjun ke industri media, ejekan yang diam-diam membuat mereka sebal. Yang jarang menulis justru mudah mendapat pekerjaan sebagai penulis.
Mereka benar dan salah. Benar, aku suka menulis. Salah, karena bekerja di industri media kulakukan hanya untuk menutupi kebutuhan hidup. Aku tak suka menulis berita.
Mereka juga mengatakan, aku diberi kelebihan mudah dekat dengan siapa saja. Sekali bertemu, langsung klik, tak jarang yang langsung curhat. Maka tak heran,  di kampus aku sering dikelilingi banyak teman, mayoritas perempuan. Anggota baru dalam organisasi pun banyak yang curhat, mereka menjadikanku senior tempat bercerita tentang percintaan mereka, bukan perkara tulis-menulis yang barangkali mereka anggap tidak aku kuasai.
Banyak orang ingin disenangi, aku tidak. Bukan karena memiliki kelebihan itu, aku bahkan tak tahu jika itu termasuk dalam kategori kelebihan seseorang. Aku hanya tidak tahu cara agar disenangi orang lain. Aku, ya, begini saja.
Kelebihan lainnya yang sering dikatakan teman-temanku, aku memiliki kebebasan. Tidak takut kelaparan, tidak takut kesepian. Kelaparan dalam arti, aku bisa saja meninggalkan sebuah pekerjaan dengan alasan bosan. Menganggur berbulan-bulan. Pindah ke satu tempat kerja, bosan, berhenti, menganggur, mencari kerja lagi, bosan, berhenti, dan menganggur.
 Ada fase yang lupa kutuliskan di bagian tengah kalimat itu, terkadang aku menikmati menjadi penganguran. Alasanya mudah saja, malas mencari kerja.
Tidak takut kesepian. Menurutku, itu bukan kelebihan, tepatnya kutukan. Semacam kesialan-kesialan yang dibawa atau tertanam di diriku sejak kecil. Mudah bergaul, mudah disenangi, tak menjamin dirimu kesepian bukan. Kamu bisa berdiri di tengah kerumunan orang yang sedang menonton konser, tapi tetap saja mereka kesepian.
Sepi ada dalam dirimu, memilihmu. Sunyi, sesuatu yang kaupilih.
Terkadang, aku memilih sunyi. Menghindar dari riuhnya hidup. Namun, sepi, aku tak memilihnya, dia memilihku. Seperti Peter Parker yang disengat laba-laba, dia tidak memilih disengat, tetapi laba-laba itu menyengatnya. Kupikir begitu perumpamaannya.
Satu-satunya kelebihanku, aku memiliki sejuta alasan untuk tidak melakukan apa-apa. Tapi satu yang kupilih; malas. Aku diberkahi rasa malas yang tidak habis-habis. Malas makan hingga dua hari dan membuatku sakit. Malas bepergian, berjalan ke tempat baru, travelling untuk melihat hal-hal baru dan meninggalkan penatnya hidup yang itu-itu saja. Malas mencari pekerjaan baru setelah resign, membuatku tak memiliku asset atau tabungan dan kembali bekerja ketika tidak lagi memiliki uang untuk sekadar membeli rokok dan kopi.
Dan malas hidup.





Dia sering mengerutkan dahi ketika seseorang bertanya berapa umurnya. Matanya memandang ke langit, mencari jawaban, seolah jawaban yang dicarinya ada di sana, tertulis jelas di sana, sehingga dia hanya perlu membacanya tanpa perlu mengingat-ingat usianya.
Terkadang, ketika kepalanya disesaki banyak hal, spontan dia menjawab 24. Pada lain waktu, saat kepalanya tak lagi riuh, dia menahan untuk menjawab, memikirkan ulang pertanyaan, dan mengucapkan apa yang seharusnya diucapkan.
Dia selalu merasa berumur 24 tahun. Seperti Kizuki yang berhenti pada usia 17 tahun, seperti Naoko pada usia 21 tahun (Norwegian Wood – Haruki Murakami). Dia tak pernah berpikir seperti Watanabe, yang lahir berkali-kali. Ketika sahabatnya bunuh diri pada usia 19 tahun, Watanabe mengalami kelahiran baru. Juga ketika Naoko akhirnya menyerah setelah menjalani pengobatan dan bunuh diri pada usia 21 tahun, Watanabe terlahir kembali. Bukan kelahiran seorang bayi dari rahim perempuan, pikirnya.
Sayangnya, dia tak seperti Kizuki dan Naoko, yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Dia masih bernapas, cukup sehat jika sakit kepala dan masuk angin tidak dihitung sebagai sebuah penyakit. Dia dan sakit kepala berjodoh, seperti kekasih yang diperuntukkan baginya. Yang lebih sering menyapanya, lebih sering datang menemuinya. Bahkan, lebih sering daripada ucapan selamat malam dari kekasihnya dulu.  
24 bukanlah angka spesial baginya. Tidak ada pencapaian-pencapaian yang membuatnya harus mengenang angka itu. Tidak ada luka yang dalam, yang membuatnya  tak bisa melupakan angka itu. 24, baginya, hanyalah akhir dari hidupnya. Ketika usianya belum mencapai angak 24, dia masih menyimpan sedikit harap. Tentang masa depan, tentang hidup yang dijalaninya. Harapnya tak banyak, dia takut banyak berharap.
Namun, ketika usianya menginjak angka 24, dia memutuskan berhenti berharap. Memutuskan mati dalam hidup. Kini, hidup yang dijalaninya hanya untuk dua hal, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dan menahan diri agar tak bunuh diri.
Dia menginginkan kematian tetapi tak pernah berniat untuk mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri.