“Akhirnya,” hanya kata itu yang terucap
dari bibirmu.
Satu kata yang membungkam
mulutku, membuatku berhenti tertawa. Seolah ada tangan yang tiba-tiba saja
membekap mulutku, membuatku gelagapan dan tersadar, hal yang baru saja terjadi
bukan untuk ditertawakan.
“Kamu bisa tertawa juga,”
tambahmu.
Membuatku semakin bingung merespons.
Aku hanya garuk-garuk kepala melihatnya cengengesan lalu berjalan ke arah
jemuran, mengambil handuk, mengelap wajahmu
yang tertumpah cat. Cat yang kamu pakai untuk mempercantik rumahmu. Kamu tersenyum,
melemparkan handuk kepadaku. Menyeruput teh chamomile yang kuletakkan di meja
dekat jendela.
Aku memintamu mandi, membersihkan
diri dari tumpahan cat. Anak-anak rambutmu yang keriting berubah menjadi warna-warni,
kaus belel bertuliskan Jogja Never Ending Asia pun penuh tumpahan cat, membuat
penampilanmu sangat memprihatinkan. Penampilan yang membuatku tak tahan ketawa.
Kamu menepuk-nepuk bagian kursi di sebelahmu, isyarat memintaku duduk. Aku mengikuti
permintaamu, duduk di sebelahmu.
“Aku lupa caranya bahagia, itu
yang kamu katakan pertama kali kita bertemu. Pernyataan yang membuatku bingung,
pernyataan yang pelan-pelan menarikku ingin mengenalmu.”
Aku ingat kali pertama kita
bertemu, di sebuh kedai di selatan Jakarta. Kamu salah mengenali seseorang,
mengira aku adalah temanmu. Kamu meminta izin duduk di hadapanku sambil
menunggu temanmu datang. Teman yang kamu tunggu-tunggu tak kunjung datang dan
perbincangan kita perlahan-lahan terbangun. Perbincangan yang kamu menangkan. Kamu
mendominasi percakapan kita sore itu.
Dan, kemenangan itu begitu mudah
dipatahkan, hanya dengan empat kata, “Aku lupa caranya bahagia”.
Ada jeda cukup lama setelah
kalimat itu keluar dari mulutku. Sebuah dering dari telepon genggammu menyelamatkanku,
menyelamatkan kita dari kecanggungan. Sebuah kabar yang mangatakan pertemuanmu
berpindah tempat, kamu pergi dan meninggalkan secarik kertas. Bertuliskan ID
Line-mu. Kertas itu kukepal-kepal menjadi bola kecil dan kulemparkan ke tempat
sampah.
Kita kembali bertemu di tempat
yang sama. Bagiku, pertemuan ini
hanyalah sebuah ketidaksengajaan, begitu pun bagimu. Meski ketidaksengajaan
seringkali tipis adanya. Ketidaksengajaan yang sebelumnya berbentuk kesengajaan
yang kamu ciptakan. Pada kedatanganmu kesekian, kamu melihatku lagi, begitu
katamu.
“Sering-sering ketawa yah,”
pintanya sambil mengubah posisi tubuhnya. Menaikkan kakinya, menyilangkan kaki
kanan dan kirinya, bersila. Menghadap wajahku, menatap wajahku.
Kupikir, seseorang yang
memutuskan menjalin hubungan dengan seseorang, baik ikatan pacaran atau
pernikahan, mempertaruhkan banyak hal dalam hidupnya. Begitupun dirimu.
Kamu mempertaruhkan waktu.
Waktu untuk mengenal seorang
lelaki murung yang lupa caranya berbahagia. Lelaki yang lupa bagaimana rasanya
merindu seseorang. Kamu memilih jalan berliku, yang bisa saja menyesatkanmu. Menyesali
kebodohanmu di kemudian hari. Waktu yang seharusnya bisa kamu gunakan untuk
mengenal dan menjalin hubungan baru dengan orang lain. Yang tahu bagaimana
caranya bahagia dan membahagiakan. Yang tahu caranya merindu dan dirindukan.
Kamu mempertaruhkan perhatian.
Aku lupa bagaimana membagi
perhatian ke orang lain. Aku bahkan tak tahu bagaimana memperhatikan diriku
sendiri. Semua-semua yang kulakukan hanya berdasarkan ingin. Memotong rambutku
karena ingin. Mengganti bajuku karena ingin. Lari pagi karena ingin dan jarang
sekali kulakukan. Bekerja karena ingin, yang membuatku harus mencari pekerjaan
lain karena rasa ingin itu hilang dan akhirnya menyerah karena rasa ingin itu digantikan ingin menganggur saja.
Aku tak terbiasa mengabari siapa
pun dan memang tak ada yang bisa kubagi kabar. Aku hidup sendiri dan
kesendirian mengajarku untuk tidak pernah berbagi apa pun selain untuk diriku
sendiri.
Kamu begitu mudahnya menanganiku.
Mengirimiku pesan-pesan yang mengabarkan keberadaanmu. Kesibukan-kesibukan,
kesulitan-kesulitan, keresahan-keresahan, dan kebahagian. Kamu membuatku
terbiasa menerima perhatian dan mengajariku membagi perhatian.
Kamu mempertaruhkan harapan.
Aku tahu sedikit harapan-harapan
yang kamu bangun. Harapan yang kamu kubur dan kamu ganti dengan harapan baru. Harapan
yang kadang terbentur dengan diriku, kamu lepaskan. Begitu mudah, meski aku
tahu tak pernah mudah. Jika saja bukan bersamaku, harapan itu mungkin tak
sekadar hidup tetapi sudah bertumbuh menjadi sebatang pohon kokoh dengan daun
yang rindang dan kamu bisa berteduh di bawahnya.
Dengan siapa pun, hukumnya sama
saja. Jika bukan harapan ini, harapan lain yang mesti kukubur, begitu katamu,
seolah semua biasa saja.
Aku tak bertaruh apa pun.
Aku mungkin saja mempertaruhkan
hidupku, ya seluruh hidupku. Aku terbiasa sepi, kini, tak lagi sepi. Hal-hal yang
kubangun, runtuh seketika di hadapanmu. Namun, aku tak merasa mempertaruhkan
apa pun.
Jika nanti kamu pergi, dengan
alasan apa pun, aku akan tetap berterima kasih. Kamu telah mengajariku bagaimana
merindu seseorang. Mengajariku cara bahagia.