Di tengah hiruk-pikuk bandar
udara, kami saling mengenggam. Rindu berdiri di antara kami, yang saling
menatap, saling menggenggam tangan, menyela celah jemari, mengisi kosong celah
jemari.
Kami mengabaikan tatapan orang
lain, wajah-wajah heran, wajah-wajah penuh tanda tanya. Yang tak tahu siapa
melepas siapa, siapa meninggalkan siapa. Siapa yang pergi dan siapa yang
bertahan. Siapa yang masih mencintai, siapa yang diam-diam ingin terus melindungi,
kami pun tak tahu. Diri sendiri pun tak tahu. Barangkali, hanya Rindu yang tahu.
Aku pulang, Rindu mengiringi. Duduk
di pojok kamarku, bersimpuh. Mengangkat kepala, menitikkan air mata. Matanya merah
menyala, mata yang menyimpan luka, menyimpan kebencian sekaligus kehilangan. Aku
membiarkannya tetap seperti itu, tak tertarik dengan segala drama yang
diciptakannya. Kepalaku penuh dengan benang-benang yang saling tumpang tindih. Aku
berusaha melerai tetapi tak menemukan cara melerainya.
“Bodoh,” kata Rindu.
“Manusia seringkali bodoh,”
kataku.
“Apa susahnya memintanya
bertahan. Kau bahkan tak tahu sebelum menjalaninya.’ Nadanya sedikit meninggi,
membuatku geram.
“Yang tak ingin dipertahankan,
tak perlu dipertahankan. Dia bukan benda yang dapat kaupilih untuk kausimpan
atau kaubuang. Dia memilih untuk tak dipilih dan aku . . . memilih untuk
memilih pilihannya. Sesederhana itu,” jawabku ketus.
Rindu menggeram, pergi
meninggalkan kamar, menyisakkan suara dentuman pintu yang keras.
Sejak hari itu, aku tak pernah
lagi bertemu Rindu. Kupikir, ada baiknya dia menghilang sejenak. Baik bagiku,
baik baginya. Ada kalanya aku dan Rindu begitu akrab. Saling mendukung, saling menyemangati.
Ada kalanya Rindu begitu menyebalkan, memaksaku melakukan hal-hal gila hanya
untuk seseorang. Jika sudah seperti itu, aku memintanya pergi atau
membiarkannya marah lalu pergi.
Aku mendapati secarik kertas di
atas meja karjaku di dalam kamar. Tulisan tangan Rindu. Sebuah salam
perpisahan, yang ditulis seperti sebuah ejekan. “Aku menyusulnya ke Canberra. Dasar
bodoh,” kalimat itu yang ditulis Rindu. Aku menempelkan kertas itu di sterofom
yang tergantung di kamarku. Mungkin nanti aku merindu Rindu. Mungkin tidak.
Aku menjalani hari-hariku seperti
biasa. Datang terlambat ke kantor. Menyeduh kopi, merokok di tangga darurat
karena kantor tak memiliki fasilitas ruang merokok. Menulis beberapa artikel di
beberapa majalah berbeda. Makan siang, merokok lagi. Membuat kopi lagi, merokok
lagi. Mengecek surat eletronik. Membuka aplikasi Facebook dan hanya melihatnya.
Membuka aplikasi Twitter lalu menutupnya.
Mendengarkan lagu-lagu sendu. Mematikan komputer jinjing, pulang ke
rumah. Sesekali membaca, sesekali menonton film. Sesekali menulis, seperti yang
kukerjakan sekarang ini. Sesekali bengong ditemani kopi dan rokok tentunya.
Ada rasa tak nyaman dalam diriku
yang tak tahu dari mana asalnya. Sesuatu
yang hanya menyisakkan rasa tak enak, seperti memukul-mukul jantungku. Membuatku
sesak napas, lemas, dan tak berdaya. Aku bertanya kepada temanku perihal ini. Kamu
lagi sedih atau stress, kata temanku. Aku menggeleng, aku merasa baik-baik
saja, meski hidupku belakangan terasa datar-datar saja tapi baik-baik saja.
Pesan singkat mendarat di telepon
genggamku. Dari perempuan di Canberra yang kulepas genggamannya di bandar udara.
“Sekarang musim gugur, angin bertiup kencang. Tapi kamu benar akan satu hal,
genggaman tangan dari orang yang kita cintai, meski hanya menyela jemari, tetap
saja menghangatkan seluruh tubuh. Aku menemukanya di sini. Sebuah genggaman
yang menghangatkan. Sehat selalu dan jangan
lupa minum kopi,” begitu pesan yang kuterima.
Aku tak tahu harus membalas apa.
Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa. Kami sepakat berpisah, kembali
sendiri-sendiri, kembali semula, kembali menjadi teman. Yang rasanya mustahil
dilakukan. Kami melewati banyak hal, menorehkan cerita di lembar-lembar hidup
kami. Kisah kami bukan sebuah tulisan di layar komputer yang begitu mudah di ctrl
a, lalu di-delete. Kembali kosong. Kembali seperti semula, tak
pernah terjadi apa-apa.
Sebuah pesan singkat kembali mendarat
di telepon genggamku. Dari Rindu. “Aku menemuinya, memintanya memberi pelukan
atau sekadar genggaman tangan. Dia menolak. Dia mengatakan telah menemukan
genggaman baru. Kini, aku menggigil kedinginan. Bersiap menunggu ajal.”
Tubuhku lemas, meloroh, jatuh ke
lantai.
# # #
“Kenapa sms, kangen ya,”
tanya seseorang yang mengirimkan pesan balasan. Sebelumnya, aku mengirimkan pesan kepadanya
“Saya lupa rasanya merindu
seseorang,” balasku dan tak ada jawaban setelah itu.
*saya membayangkan perasaan rindu
hilang dan kita tak lagi memiliki kemampuan merindu seseorang.
0 comments:
Posting Komentar