sebagian


Perjalanan paling menyakitkan adalah perjalanan menemui sebagian dirimu yang terkunci rapat-rapat di sudut pikir. Perjalanan yang nantinya menguras habis seluruh energimu, membuatmu enggan melanjutkan kehidupanmu yang sekarang. Aku sadar, ketika mengatakan berhasil mengunci sebagian diriku di sudut pikir hanyalah cara agar aku sedikit tenang, sedikit bahagia. Juga sebagai bukti bahwa aku telah berjalan ke depan, meninggalkan kenangan-kenangan menyedihkan itu dalam ruang hampa.
Perkataan itu jelas bohong adanya. Ingatan, sebagaimana adanya tak pernah berhasil kita kurung rapat-rapat di  sebuah ruang. Dia memilih diam di sana, sesekali datang menjengukku di masa sekarang, sesekali menyiapkan amunisi untuk menyerang. Aku tak ingin lagi berperang, tak ingin lagi berurusan dengan kenangan. Tapi, di sinilah aku sekarang, di paruh perjalanan menuju sebagian diriku. Membangunkannya, mengajaknya bicara.
Ada ragu yang menahan laju kakiku. Keraguan yang menyisipkan sebuah pertanyaan, siapkah kamu kehilangan? sepertihalnya kita tahu, tidak ada yang benar-benar siap dengan kehilangan, tidak ada persiapan yang mampu mengurangi pedihnya kehilangan.
“Aku butuh bantuanmu,” tembakku, langsung ke inti.
“Manusia cepat menjadi tua dan pelupa. Kemarin mengatakan tak butuh, hari ini memohon. Menyedihkan,” katanya sambil terkekeh.
“Bagaimanapun kita satu. Berbaiklah,” kataku, sedikit memohon.
“Di antara kita, kita tahu siapa yang membuang siapa. Siapa yang meninggalkan siapa, dan bukan aku.”
“Dan kita tahu, siapa yang meminta kembali. Tapi, aku tak tahu, jawaban dari permintaanku.”
“Apa yang kamu perlukan?” tanyanya tanpa memberi jawaban dari permintaanku.
“Ingatan tentang seorang gadis oriental. Dia menemuiku  sebulan lalu, memberikanku sebuah surat dan beberapa lembar foto. Aku tak mengingatnya, tak mengenalnya tetapi merasa begitu dekat dengannya.”
“Jangan, yang satu ini jangan. Hidupmu akan hancur,” pintanya, membuatku heran.
Sebegitu besarkah pengaruh perempuan ini dalam hidupku hingga mampu menghancurkan semua yang telah kubangun selama ini. “Aku mohon,” kataku. Dia mengangguk dan berjalan ke arahku. Memelukku, membuatku satu dengannya. Mengembalikan memori yang kubuang jauh-jauh.
Perlahan-lahan gambaran masa lalu muncul di kepalaku. Potongan-potongan gambar  mulai tersusun, terus terususun hingga sepuluh tahun lalu. Awal masa aku mengenal perempuan itu, jatuh cinta dan menjalin hubungan dengannya. Aku melihat diriku begitu bahagia dalam potongan gambar itu. Kebahagiaan yang tak lagi kutemukan tujuh tahun terakhir dalam hidupku.
Lalu pertentangan-pertentangan hadir. Penolakan dari keluarga masing-masing yang tak menginginkan anaknya menikah karena berbeda keyakinan. Kami bertahan, terus bertahan hingga akhirnya menyerah. Mengaku kalah. Entah pada takdir atau pada keegoisan orangtua kami.
Aku melihat diriku hancur. Mengurung diri berbulan-bulan di kamar. Menenggak anti depresan agar merasa tenang dan dapat tidur pulas. Kehilangan pekerjaan. Kehilangan kepercayaan atas keluarga. Kehilangan perempuan itu,  kehilangan diriku sendiri. Tak ada yang lebih menyedihkan ketika kita kehilangan diri sendiri.
Aku tak memiliki lagi impian atau harapan. Aku menikah dengan perempuan pilihan keluarga, yang tak pernah kunenal sebelumnya, yang tak pernah membuatku jatuh cinta atau membuatnya jatuh cinta kepadaku. Murni perjodohan. Apa lagi yang harus dilakukan seseorang yang kehilangan dirinya sendiri selain menerima keinginan dari orang lain.
Hingga sebulan lalu, perempuan itu datang. Membuatku sadar, ada yang hilang dalam diriku. Memaksaku menemuimu, memintamu mengembalikan kenangan-kenangan burukku.
“Aku akan kembali kepadanya,” kataku mantap.
“Terserah, itu hidupmu. Aku hanya masa lalu, tak bisa diubah, tak mampu kauubah,” katanya.
Aku pergi meninggalkan sebagian diriku di masa lalu. Tak menguncinya, tak memintanya untuk pergi. Dia bebas kapan pun datang kepadaku. Aku menerimanya, selalu menerimanya. Pesanku hanya satu kepadanya, datanglah saat hujan, saat kopiku sedang panas-panasnya dan persediaan rokokku banyak.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar