bermain

salah satu buku yang sering saya baca. berulang-ulang, tidak pernah bosan.
Saya hampir lupa rasanya berada di bawah terik matahari, di bawah curahan hujan, melakukan hal menyenangkan di kedua kondisi tersebut. baik tersengat sinar matahari, dijatuhi air dari langit, biasanya sedang berkendara, menuju tempat atau pulang dari kerja. padahal, semasa kecil, saya kerap menghabiskan waktu di kedua waktu tersebut.
sampai di rumah, sepulang sekolah, saya melempar tas dan seragam, mengambil baju dari jemuran yang terkadang belum kering benar. berlari menuju rumah teman, berkumpul, bermain apa saja. sore hari, saya kerap bermain layangan. permainan yang tak benar-benar saya kuasai. saya malah lebih lihai mendapatkan layangan putus setelah diadu.
senjata saya sederhana, sebuah galah panjang yang terbuat dari bambu. tak hanya berfungsi sebagai alat mengambil layangan yang tersangkut di dahan pohon, seringnya, dipakai untuk mengambil buah milik tetangga. jika tertangkap, saya dan teman-teman akan dimarahi. jika tidak, saya tetap dimarahi, oleh bapak saya, yang mendapat laporan dari tetangga karena buahnya dicuri.
ketika musim hujan tiba, kami tak bisa bermain layangan. adu kelereng pun dipindah di rumah teman, terasnya panjang, sekitar delapan meter. cukup untuk bermain polo. sesekali bermain bola di bawah hujan, sesekali, itu pun dengan risiko dimarahi orangtua.
baik hujan dan panas tak mengubah kesenangan kami bermain. namun, sore itu, kampung kami didatangi beberapa tetangga baru dari kota yang memilki mainan-mainan canggih. esok hari, sepulang sekolah, saya tak menemukan teman-teman di tempat biasa kami berkumpul. saya mencari mereka dan melihat bejubel di rumah tetangga baru kami. mereka asik menatap layar televisi besar yang menampilkan mario bross sedang loncat-loncat. nintendo atau sega,  saya tak tahu pasti.
“nggak jadi main?” tanya ibu saya yang melihat wajah saya kusut.
“pada main nintendo,”
“kenapa nggak ikut main sama yang lain?” tanyanya lagi.
“yang punya rumah lupa kalau ada orang. cuma dikasih liat doang, apa enaknya.”
saya pun masuk ke dalam kamar. mengambil beberapa komik yang saya pinjam dari teman. yang selalu lupa saya kembalikan, sengaja tak ingin dikembalikan agar saya bisa mengulang-ulang membacanya. kakak saya masuk ke kamar saya, mengambil komik yang saya baca. memberi saya beberapa buku, salah satunya lima sekawan – kakak saya kemudian  hari menyukai novel-novel agatha christie dan novel thriller lainnya, genre yang jarang sekali saya baca.
perpindahan saya dari komik ke novel dimulai dari situ. saya mulai menyenangi membaca fiksi dan perlahan meningalkan komik, bahkan, saya mulai tak suka membaca komik. efeknya membekas sampai sekarang. meski saya menonton anime, tak hanya di televisi tetapi juga mengunduh dari internet, saya tak membaca komik, tak dapat menikmati membaca komik, saya tak tahu persis apa alasannya.
demi memenuhi keinginan kami – saya dan kakak – membaca, kami membuat celengan dari bambu. Celengan itu dipotong akhir bulan, uang yang terkumpul dibelikan buku. kami tak mendatangi toko buku, biasanya kami  pengepul barang rongsokan. selalu ada buku bekas di sana. selain kertasnya yang menguning, beberapa bagian termakan rayap. kami tak memedulikan fisiknya, selama masih bisa dibaca, kami beli. sesederhana itu prinsipnya.
orangtua mulai melihat perubahan dalam diri saya. saya kerap menghabiskan waktu di kamar. mereka khawatir, seusia saya sepantasnya bermain bermain bersama tema-teman. bahkan, ibu pernah meminta saya berhenti dari sekolah agama sore hari.
“emang boleh brenti ngajinya, bu?”
“boleh. usia kamu, usianya bermain. jangan terlalu banyak belajar,” jawab ibu saya. ibu, memang bukan tipikal orang tua yang menuntut anak-anaknya belajar, dia lebih senang jika kami bermain. bermain juga penting, membentuk karakter kamu di masa depan, kata ibu.
membaca, bagi saya, seperti halnya bermain, wahananya saja yang berbeda. meski kerap kali saya puasa membaca dan rentang waktunya cukup lama. seperti tahun ini, saya puasa membaca buku selama sembilan bulan.
hujan turun tadi sore. mengingatkan saya tentang masa kecil. bertelanjang dada, tanpa alas kaki, berlari di bawah curahannya. ingin rasanya berlari, menembus pintu rumah, menembus ego, menembus pikiran-pikiran tentang pemikiran orang lain. dewasa, seharusnya tak membunuh jiwa anak-anak dalam diri saya.
dan pada akhirnya, saya kalah . . . pada pemikiran saya sendiri.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar