Dia mengenakan kebaya putih dan
kain batik. Duduk di depan sebuah meja yang tingginya hanya 30 centimeter. Di
sebelahnya, seorang pria memakai jas hitam, peci hitam, duduk bersila. Tangan
kanan pria itu menjulur ke depan, menyambut tangan lelaki yang lebih tua,
keriput jelas terlihat di tangan itu. Tangan ayah si perempuan. Menarik erat
tangan pria di dihadapannya, memintanya mengucapkan janji setia bagi anak
perempuannya.
Penghulu mengucapkan kata ‘sah’
dan disambut kata serupa oleh wali si perempuan, saksi dari lelaki dan perempuan
serta para tamu yang tak diminta mengucapkan kata serupa. Alhamdulillah, suara
itu menggema di dalam masjid, tangan-tangan yang menangkupkan wajah serta isak
tangis.
Dia menangis, entah bahagia atau
sedih. Keduanya tak dapat dibedakan, tak dapat diartikan.
Pasangan itu mendatangi satu per
satu tamu yang datang, mengucapkan terima kasih dan permintaan doa agar hubungan
mereka langgeng ke depannya. Suara petasan, pukulan rebana dan senandung
salawat mengantarkan pengantin serta rombongannya menuju rumah. Meninggalkan
masjid, menjadikan tempat itu hening kembali.
# # #
“Kita hidup dengan ‘jika’ dan
segala pengandaian. Yang hanya ada di pikiran, luput untuk dilakukan,” kata
perempuan itu sambil mengaduk-ngaduk minumannya dengan sedotan.
Perempuan yang mengenakan kebaya
putih dan kain batik setahun lalu itu, kini, ada di hadapanku. Berbicara
tentang ‘jika’. “Aku selalu berpikir, bagaimana jika setahun lalu aku
membatalkan pernikahanku. Mungkin, banyak yang akan kecewa, tapi aku mungkin
salah satu yang tak kecewa dan bahagia,” katanya melanjutkan pengandaiannya.
Aku memilih mengalihkan
pandanganku ke luar jendela. Bosan melihat wajah murungnya dan tangannya yang
tak henti-hentinya mengaduk minumannya. Bagiku, apa pun tentangnya, tak lagi
menarik. Apa pun, kujamin itu.
“Bagaimana jika saat itu aku
memilihmu, memutuskan menikah denganmu. Mungkin, saat ini, aku tak duduk dengan
seseorang dan menceritakan penyesalan. Aku, mungkin bahagia,” katanya lagi dan
berhenti mengaduk minumannya. Menyandarkan tubuhnya di sofa.
Aku meninggalkan seorang lelaki
tua penjual es, seorang anak kecil yang berjalan tergesa-gesa karena ditarik
ibunya, sepasang kekasih yang saling bergandengan tangan, seorang pengemis yang
duduk di trotoar. Meninggalkan mereka yang berada di balik jendela, mengalihkan
wajahku pada perempuan yang duduk di hadapanku.
‘jika’ bagaimanapun juga akan
melahirkan “jika-jika” yang lainnya. Selalu seperti itu. Keindahan yang
diciptakan dari pengandaian akan membuatmu ketagihan. Menjeratmu, menarikmu
dari kenyataan, yang barangkali tak sesulit dan serumit yang ada di pikiranmu.
“Aku pernah hidup dengan ‘jika’,
tapi sudah kubuang beberapa bulan lalu,” kataku dan membuat perempuan di
hadapanku menarik sandarannya dari sofa. “Kita tak pernah memulai. Baik dulu
dan sekarang, sama saja. Kita tak pernah menjalin apa-apa. Mengenai perasaanku
dulu, lupakan saja.”
Air matanya jatuh, melewati
pipinya, terjun melalui dagunya. Dia tak mengusapnya, membiarkannya mengalir
begitu saja.
“Aku terlambat menyadarinya. Aku baru
sadar begitu mencintaimu saat lelaki itu duduk di sebelahku, menjabat erat
tangan papaku dan mengucapkan ijab qabul. Aku . . . aku bahkan tak berani
mendatangimu, melihat pun tidak.” Tangisnya pecah. Air matanya semakin deras,
jatuh melalui dagunya.
“Yang lalu tetap lalu. ‘jika’ tak
bisa menghapusnya, mengubahnya. Hiduplah tanpa ‘jika’, mungkin hidupmu akan
lebih baik.”
0 comments:
Posting Komentar