rainy (hujan)


perihal nama tuhan yang disandang seseorang di banyuwangi membuat gempar indonesia. setelahnya, nama-nama unik lainnya bermunculan.
perihal nama, mengingatkan saya pada sebuah surat yang saya terima setahun lalu. dua lembar kertas berisi tulisan tangan dan dua lembar foto. isinya, penjelasan tentang nama.
di sehelai foto, terekam wajah seorang gadis mungil berusia dua tahun. mengenakan dress putih, bandana, serta gelang mungil dengan gantungan hellokitty. Gadis mungil itu sedang memeluk boneka yang sama persis seperti bandulan pada gelangnya. ukurannya saja yang lebih besar. di balik foto tertulis, rainy putri (2 tahun, 3 bulan).
saya memberinya nama rainy, tetapi memanggilnya dengan sebutan hujan. ada kata rain di rainy. yang mengingatkan saya tentang fase-fase melepaskan. kemarau yang panjang, tak hanya membuat tanah-tanah retak tetapi juga membuat hubungan kita retak, pecah, kemudian hancur. saya menunggu hujan datang lebih cepat, tetapi, hujan memilih datang di saat kita tak lagi bersama.
hujan, menyirami luka yang disebabkan kemarau. hanya mengobati, tak memperbaiki. dan kita, tak pernah bersama lagi.
saya selalu takjub dengan cara dia bermain diksi. bahkan, untuk sebuah surat, dia memilih kata kiasan. kenapa tidak dibuat sederhana saja. perpisahan, entah disampaikan dengan pilihan kata apa pun tetap saja meninggalkan duka. meninggalkan kesedihan. saya tak terlalu peduli dengan rangkaian kata berbunga-bunga seperti itu.
nyatanya, kami berpisah. dia menikah, memiliki anak. saya sendiri, menunggu, dan menyadari, surat di genggaman saya merupakan isyarat untuk melepaskan. melepaskan harapan.
di foto lainnya, seorang anak lelaki, memakai kaus hitam bertuliskan “like son, like daddy”. wajahnya belepotan, tangan kanannya memegang cokelat. rambutnya tumbuh tipis-tipis, tak beraturan, panjang di sisi kanan dan kiri kepalanya serta pendek di bagian tengahnya.
namanya karang. karang samudera. mengingatkanku pada impian yang lalu. tentang sebuah rumah di pinggir pantai, tentang menghabiskan masa tua yang damai. ditemani suara ombak. karang yang kokoh menggambarkan ikatan kita. samudera, tak terhitung luasnya perasaan kita. kamu, memilih mengikuti impian-impianku. selama bersamamu, semua tak masalah, katamu waktu itu.
nyatanya, hubungan kita tak seperti karang, tak seperti samudera. kita hanya sepetak tanah yang retak yang ditinggalkan petaninya. yang menunggu hujan, menunggu memulai menanam bibit baru.
aku ingat impiannya tentang rumah di bibir pantai. menghabiskan usia senja dalam damai. menghindari hiruk-pikuk jakarta, tempat kita mengais rejeki, mengumpulkan pundi-pundi. berjarak dengan kesemrautan kota. menunggu anak-anak datang menjenguk. tertawa bersama lalu melepas mereka pergi menuju impian-impian mereka. kita kembali menjadi dua orang senja yang berteman akrab suara ombak.
di bagian akhir surat, aku ternganga. kupikir, layaknya sebuah surat yang datang dari seseorang yang meninggalkamu akan berisi permintaan maaf. nyatanya tidak. dia dengan tegas mengatakan tak perlu meminta maaf dan tak memerlukan maaf dariku.
aku tak perlu meminta maaf dan tak membutuhkan maaf darimu. bagiku, berakhirnya hubungan kita di masa lalu bukan sebuah kesalahan. hanya kebersamaan kita saja yang harus berakhir. aku hanya ingin memberi tahumu, bagaimana pun buruknya masa laluku, dia tumbuh bersama masa depanku. anak-anakku akan selalu menjadi pengingat, masa lalu, seburuk apa pun, tak lagi penting jika kamu bisa bahagia saat ini. kupikir segini saja. begini saja. cukup.
sejujurnya, aku mengharapkan maaf darimu. Sebagai penghibur semata akan hari-hari lalu yang buruk. kalau pun kamu tak memintanya dan dengan tegas mengatakan tak membutuhkannya, kupikir tak apa. kamu benar, masa lalu terus tumbuh bersama masa depan kita. sebaik apa pun, seburuk apa pun.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar