Pesawat yang mengantarkanku
menuju tempat baru, barangkali masih terparkir manis di apron. Jadwal penerbanganku
yang tertera dalam surat elektronik menunjukkan pukul 11 pagi, masih dua jam
sebelum check in dan tiga jam sebelum keberangkatan. Aku sudah duduk
manis di sebuah coffe shop, di ujung kanan terminal keberangkatan luar negeri.
Memesan americano, menyesapnya pelan-pelan. Menghirup aroma kota, aroma negeri
ini yang sebentar lagi akan kutinggalkan, entah berapa lama.
Perjalanan ini, kepergian ini,
memberi makna baru dalam hidupku. Aku mendefinisikan ulang kata ‘pulang’ dan ‘singgah’.
Mengganti kata pulang dalam kamus hidupku dengan kata singgah. Aku tentu tak
bisa mengubah kata yang tercantum dalam kamus besar bahasa Indonesia (kBBI),
tetapi aku pasti mampu mengubah kata dalam kamus hidupku. Aku tak lagi membutuhkan
kata pulang, aku hanya membutuhkan kata singgah. Jika nanti aku kembali ke
negeri ini, entah terpaksa karena urusan pekerjaan atau sekadar ingin, kata
yang tepat untuk kugunakan adalah ‘singgah’, bukan ‘pulang’.
Aku tak lagi memilki tujuan
pulang. Tak ada rumah untuk berteduh, tak ada yang menunggu kepulanganku. Akh,
sial, sudah dua kali kugunakan kata sialan itu. Sebenarnya, aku juga ingin
menghapus kata keluarga tetapi efek yang ditimbulkannya akan sangat panjang dan
menguras tenaga. Aku harus menghapus nama belakangku, nama ayahku yang juga
tersemat di belakang nama ibuku, kakakku dan adikku. Aku harus mengganti nama
pada tanda pengenalku, ijazahku, akte lahirku, STNK dan sederet identitas
lainnya. Kuputuskan tak menghapus kata itu, tapi berupaya menggunakannya
seminim mungkin.
Jika nanti aku merindukan
teman-temanku, aku bisa menggunakan kata singgah pada kunjunganku ke negeri
ini. Temanku hanya segelintir, tak lebih dari jumlah jari tangan. Teman yang
benar-benar teman. Bukan sekadar pelabelan pada orang yang baru kita temui satu
dua kali, atau sesekali bertemu dan memulai percakapan dengan kata sombong atau
sok sibuk. Aku tak pernah menghitung mereka sebagai temanku. Kupikir, mereka
pun melakukan hal serupa.
Aku tak membutuhkan obrolan
basa-basi, aku membutuhkan percakapan yang benar-benar percakapan. Teman adalah
yang tahu siapa diriku dan aku tahu
siapa mereka. Di balik kamuflase yang terkadang kita ciptakan, kita tahu siapa
mereka. Kapan mereka berbohong dan kita berpura-pura tidak tahu mereka sedang
berbohong lalu menunggu mereka kembali jadi diri sendiri. Bercerita berjam-jam tentang
kesedihan, kegelisahan, kebahagiaan atau kekonyolan.
Teman, bagiku, yang tahu alasan
kepergianku. Tahu alasanku mengganti kata ‘pulang’ dengan ‘singgah’.
Aku kembali memesan secangkir
kopi. Espresso. Aku butuh kopi yang lebih keras, strong, agar tetap
terjaga, tetap waras. Seorang pramusaji mencatat pesananku, wajah kantuk itu
berusaha keras tersenyum. Senyum yang tak enak dipandang. Telepon genggamku
berbunyi, menampilkan pesan di grup WhatsApp. Dimana? Gue di bandara nih, isi
pesannya yang kemudian disusul beberapa pesan lainnya.
Ketiga temanku mendatangi tempat
yang kusebutkan dalam grup itu. Ada yang menepuk bahuku, meninju lenganku,
lainnya menarik kursi, duduk. Obrolan mengalir seperti biasa. Mereka berupaya
keras mengalihkanku dari obrolan-obrolan yang menyedihkan. Kulirik jam tangaku,
pukul 10.30. Aku mengambil travel bag-ku, bersiap-siap check in.
“Jangan lupa balik, bro,” kata
temanku.
“Yah, berkurang lagi satu orang
galau di Indonesia,” tambah lainnya.
“Yang suka nangis kalo baca buku
atau nonton film ya,” candaku.
“Dan mata merah kayak belom tidur
dari SD,” timpal lainnya.
Aku menjabat mereka satu per
satu. Hal yang tak pernah aku lakukan, kami lakukan. Kami benci berjabat
tangan, seolah isyarat akan kepergian yang lama. Mereka berdiri berisisian,
menungguku masuk. Sebuah teriakan membuat langkahku terhenti. Suara perempuan
yang begitu kukenal. Perempuan yang menjadi salah satu alasan terbesarku
menghapus kata ‘pulang’ dalam kamus hidupku.
Ketika membalikkan badan,
kudapati wajah penuh peluh. Perempuan di hadapanku langsung memelukku. Membuatku
sekujur tubuhku kaku. Membuatku bingung bagaimana bereaksi. Butuh beberapa
detik hingga aku menyadari bahwa perempuan di hadapanku ini nyata, pelukan ini nyata. Melepaskan
trevel bag dari genggamanku, memeluknya. Merekuhnya. Membiarkan
perempuan itu membenamkan wajahnya di bahuku, membasahi kausku.
Pelukan itu perlahan mengendur,
perempuan itu menarik jarak dengan lembut, sangat lembut.
“Ini,” katanya seraya menyerahkan
kaus yang dibungkus plastik transparan. Kaus
buluk yang sering digunakannya untuk tidur. Kaus buluk yang sering kupinjam
jika menginap di rumahnya.
Aku mengambil kaus itu,
memasukkannya dalam tasku. Mengambil sebuah kaus, kaus buluk yang sering kugunakan
untuk tidur, kaus yang sering dia pakai
ketika menginap di rumahku. Dia memelukku sekali lagi lalu berjalan menuju
teman-temanku. Aku bergegas masuk dan melambaikan tangan ke mereka.
# # #
Aku membuka plastik pemberiannya,
mengeluarkan kaus, memeluknya. Dan mulai mempertanyakan, masih pentingkah kata ‘pulang’
dalam hidupku. Masihkah dia menjadi tempat pulangku nanti setelah kegagalan dan
kekecewaan yang kuberikan kepadanya. Aku, lelaki kalah. Yang tak menepati janji
untuk menikahinya. Yang tak berani menentang penolakan orangtuaku tentang
rencana pernikahanku dengannya.
Aku harus menambahkan satu kata
dalam kepergianku kali ini. Lari. Aku pelari yang tangguh, lari dari kenyataan
pahit.
0 comments:
Posting Komentar