sebuah pagi yang biasa



Aku terbangun dengan rasa sakit yang mengantam kepalaku. Seperti dipukul berkali-kali, terus berdenyut, hampir pecah rasanya. Aku mencari aspirin yang biasanya kuletakkan di meja kerjaku. Tidak ada, hanya bungkusnya saja yang tergeletak di atas meja. Rasa sakit di kepalaku perlahan menjalar ke sekujur tubuhku. Lemas seketika. Ambruk. Aku mendorong tubuhku ke atas tempat tidur, berbaring. Pasrah.
Di langit-langit kamar, ada sederet kalimat yang entah muncul dari mana. “Apa yang paling kaurindukan?”
Bayang-bayang ibu pun hadir. Ibu yang kerap bangun pagi hari, memasak, menyiapkan segalanya untuk keluarga. Ibu, yang kutolak makanannya karena tak pernah berubah sejak aku kecil. Yang kerap bertanya kemana aku pergi, bertanya kapan pulang, bertanya sudah makan, bertanya tentang apa saja. Yang selalu kujawab dengan diam. Aku . . . rindu ibuku.
Bayangan ibuku pun hilang.
Lalu muncul bayang baru. Seorang lelaki memakai sorban, peci dan sarung berwarna merah marun, duduk di sebuah bangku, di sebelahnya, seorang lelaki, memandang ke arah langit. Aku mengingat kejadian dua tahun silam, persis dalam bayang itu. Ayahku, memintaku berbicara empat mata.
“Sekarang, kita sejajar, Nak. Teman. Bukan lagi ayah dan anak. Kamu sudah dewasa, bukan hakku untuk memerintahmu lagi. Aku hanya mengingatkan, pilihan ada di tanganmu. Kelak, ketika semua jalan yang kamu tempuh tidak menemukan ujung pangkal, pulanglah. Pintu rumah selalu terbuka untukku. Hati ayah selalu terbuka untukmu,” kata ayahku waktu itu.
Aku bergeming. Menatap langit sore. Tak menggubris. Aku terlalu lelah dengan semua peraturannya. Aku bahkan tak percaya dia mengatakan hal ini. Tak pernah percaya. Di bayang itu, ada setetes air yang jatuh dari pelupuk mata ayahku. Aku tak pernah melihatnya. Tak pernah sadar, ada yang diam-diam begitu menyanyanyiku. Betapa pun kerasnya, dia menyanyangiku. Aku tak pernah sadar akan hal itu. Aku . . . rindu ayah.
Bayangan ayahku pun hilang.
Kini, tampak dua orang lelaki dan seorang perempuan dalam bayangan itu. Adikku, kakakku dan suaminya. Mereka duduk di halaman depan rumah. Tertawa, begitu bahagia. Aku . . . merindukan kalian.
Bayangan ketiganya menghilang.
Lalu, muncul bayangan keponakanku. Gadis kecil berusia empat tahun yang meninggal dua tahun lalu. Bayangan itu terus membesar, tepat di depan mataku. Tangan keponakanku keluar dari bayang-bayang itu, menarikku.
“Sudah waktu, Om. Yuk main lagi sama Ia. Kita main, sambil nunggu semua keluarga datang terus main bersama,” katanya.
Air mataku menetes, menjalarkan rasa hangat di pipi. Di sebuah pagi yang biasa, keponakanku menjemputku. Mengajakku bermain. Memintaku menunggu keluargaku. Memintaku meninggalkan dunia yang fana ini.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar