Aku menarik jangkar, dipaksa menarik jangkar dari hatinya, tempatku menautkan banyak hal, segala hal. Apa yang akan kukerjakan, apa yang ingin kulakukan, pada akhirnya selalu bermuara kepadanya. Dia, menjadi satu-satunya tempatku berlabuh. Menjatuhkan jangkar, mengikatkan tali pada batang-batang beton di pinggir Dermaga. Dia . . . tempatku menyandarkan segala hal dalam hidup. Bersamanya, aku menjelma Kapal sunyi tapi tak pernah merasa kesepian. Bersamaku, dia menjelma Dermaga sunyi dan tak pernah merasa sendiri. Tidak [.....]
Dia berjongkok di samping pusara yang basah tersiram hujam. Mengambil sebuah buku catatan bersampul merah, membuka lembar demi lembar dan berhenti di halaman 78, tempat dia menuliskan berbaris-baris kata, yang tidak pernah disebutnya sebagai puisi. Kata-kata itu dituliskan tiga bulan silam, ketika hujan datang tiba-tiba datang membasahi jubah matahari yang terik. Dia berlari cepat, secara acak memasuki sebuah warung kopi. Teleponnya berdering, mengabarkan mantan kekasihnya berpulang selamanya. Dia memilih duduk di dekat [.....]
Sosok itu, sosok yang selalu menutupiku, sosok yang menjadikanku tak ubahnya hanya bayang-bayang dalam kehidupanmu. Menjadikanku seorang pesakitan yang menunggu keajaiban, suatu hari yang indah akan datang, kabut tak lagi menghalangi pandanganmu kepadaku. Tidak ada lagi wajahnya, aroma tubuhnya, dan segala hal tentangnya yang selalu kamu rindukan. Sosok itu akhirnya terungkap juga. Kini, sosok itu memilki nama. Yang tidak ingin kusebut, tidak ingin kubagi pada kalian. Sudah waktunya menarik jarak. Sudah waktunya menjadi [.....]