pinjam


Ibuku, seseorang yang hidup dengan cinta yang keras kepala. Dia menanam tomat, cabai, jahe dari sisa-sisa bumbu dapur yang tak banyak itu di sepetak tanah belakang rumah. Di atas tanah gersang, di lahan yang sudah merindu hujan. Desaku, bukanlah desa kesayangan hujan. Hujan enggan mampir, menyapa pun tidak.
Hujan seperti seorang patah hati yang belajar tidak peduli pada mantan kekasihnya. Yang tidak lagi membenci tetapi tidak lagi memerhatikannya, menganggapnya ada pun tidak.
Ibuku, entah terbuat dari apa. Segumpal batu dapat berlubang jika terus-menerus ditetesi air hujan, sebongkah karang yang kokoh dapat terkikis dihantam ombak, tidak dengan ibuku. Keteguhannya, keyakinannya melebihi batu dan karang. Ibuku hidup dan menua dengan keyakinan, suatu hari, sepetak tanah di belakang rumahnya dipenuhi bermacam-macam sayuran. Bunga-bunga Sepatu tumbuh rimbun, layu, kemudian mati, ditanamnya lagi, disiraminya dengan cinta, dan berbunga lagi.
Aku tumbuh dan besar dengan kayakinan, ibuku salah menjatuhkan harap. Tidak ada pohon cabai dan tomat yang akan tumbuh di lahan itu, terlebih tanaman bunga. Dan keyakinanku benar, harapan ibuku tidak lebih dari keinginan seorang anak kecil yang berteriak meminta uang saat sebuah helikopter terbang di atas rumahnya, harapan yang tidak pernah terwujud hingga di meninggal dua tahun lalu.
“Cinta yang besar, membuatmu begitu keras kepala. Sekarang kamu tak paham, Nak. Suatu hari kamu akan paham.” Dia memintaku berhenti menasehatinya agar tidak menanam pohon lagi di belakang rumah. Setelah perkatannya waktu itu, aku tidak lagi memedulikannya.
Ibuku salah sudah memercayakan sebagian besar hidupnya untuk menanam harap pada lahan yang tak kunjung membuahkan kebahagiaan kepadanya. Di sini lain, ibuku benar, cinta yang besar membuatku menjadi begitu keras kepala. Membuatku memberikan hal terakhir yang kumiliki kepadamu.
Jadi, pinjamkan gigilmu kepadaku, agar rindumu tetap hangat, agar rindumu kepadanya tidak mati. Pakailah harapku, aku tak perlu harap, pada hari-hari yang biasa saja, pada tahun-tahun mendatang, aku tak membutuhkannya, tak pernah membutuhkannya. Aku pernah membutuhkan secuil harap agar redup hidupku tidak padam, tidak mati. Namun, masa itu sudah berlalu beberapa tahun lalu. Aku tak memerlukannya lagi, kupikir ada baiknya kuberikan kepadamu.
Tanpa harap, kamu akan mati, Nak, kata ibuku suatu waktu. Tapi apa pentingnya hidup, jika apa yang paling kau inginkan dalam hidup justru tidak bisa, tidak pernah bisa kau gapai. Aku bukan orang yang serakah yang menginginkan banyak hal dalam hidup. Aku hanya menginginkan sedikit kebahagiaan dari sekian banyak luka, kecewa, dan kesedihan yang kuterima selama puluhan tahun.
Bahkan, secuil harap pun tidak kunjung kudapatkan. Aku paham, cinta tak menjanjikan apa-apa, tidak kebahagiaan, tidak juga kekecewaan. Cinta hadir begitu saja. Menyentuh sisi lembut dalam dirimu, bertunas di dalam hatimu. Yang terus tumbuh, yang tidak mengenal musim untuk tumbuh dan berkembang, yang tidak perlu mengenal tempatmu tumbuh adalah lahan penuh dengan luka dan kekecewaan.
Di hadapan cermin, hanya banyangan tubuh renta yang terus saja menanam pohon-pohon di atas tanah yang retak. Yang selalu kutegur, kumarahi karena salah meletakkan harap. Kini, aku tidak lebih dari seorang laki-laki yang salah meletakkan harap pada perempuan yang kucintai. Sayangnya, tidak ada yang menegurku, tidak ada yang memarahiku. Dan,  aku tidak benar-benar membutuhkannya. Tidak ada yang bisa mengubah sebuah cinta yang keras kepala.
Pakailah harapku, kamu membutuhkannya. Kamu masih perlu berjuang, memperjuangkan apa yang kamu yakini, cintai. Memperjuangkan dia.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar