Dia berjongkok di samping pusara yang basah tersiram hujam. Mengambil sebuah
buku catatan bersampul merah, membuka lembar demi lembar dan berhenti di
halaman 78, tempat dia menuliskan berbaris-baris kata, yang tidak pernah
disebutnya sebagai puisi. Kata-kata itu dituliskan tiga bulan silam, ketika
hujan datang tiba-tiba datang membasahi jubah matahari yang terik.
Dia berlari cepat, secara acak memasuki sebuah warung kopi. Teleponnya berdering,
mengabarkan mantan kekasihnya berpulang selamanya. Dia memilih duduk di dekat
jendela, memerhatikan jalan yang basah, memerhatikan orang berlari menghindari
tetesan hujan. Menempelkan jemarinya di kaca, mengikuti butiran air tergelincir
dari kaca. Mengeluarkan buku catatan bersampul merah. Menuliskan berbaris-baris
kata. Menutupnya. Menyesap kopi yang diantarkan pramusaji, menyulut rokok,
merayakan kehilangan dalam sunyi.
Dia tidak membenci kematian. Baginya, kematian hanya wahana baru bagi
seseorang. Permainan yang hanya dapat kaunikmati sekali dalam hidup. Dia
membenci dirinya yang menarik jarak dari kekasihnya. Tidak ada ucapan
perpisahan, tidak sempat mengucapkan kata sayang. Dia pergi dengan membawa luka
yang tidak sempat diucapkan kepada kekasihnya. Dia membawanya seorang diri,
memikulnya sendiri.
Cinta tertindih luka-luka, membuatnya lupa, ada cinta yang bersemayam
di dalam dirinya.
Esok, aku akan mengatakannya. Esok, aku akan menjelaskan semuanya. Esok,
aku akan menghubunginya. Setidaknya, perpisahan harus dikabarkan, harus
dikatakan, gumamnya pada dirinya sendiri. Esok tidak pernah datang. Dia tidak
pernah mengatakannya, tidak menjelaskan semuanya, tidak menghubunginya. Kekasihnya
berpulang sebelum sempat dia memenuhi janjinya.
Dia menjelma lelaki paling pengecut di dunia. Mengutuki kebodohan-kebodohannya,
meratapi ketidakberaniannya. Bahkan, setelah kematian kekasihnya, dia tidak
berani mendatangi makamnya. Dia menarik diri dari pergaulan. Menarik diri dari
semua hal yang bersinggungan dengan kekasihnya. Dia sempat berpikir menarik
diri dari dunia, niat itu diurungkannya. Dia harus memenuhi janjinya, mengucap
salam perpisahan, mengucapkan kata sayang pada kekasihnya.
Seorang kakek memerhatikannya sedang berjongkok sambil memegang buku
catatannya yang kusam. Barangkali, kakek itu heran, bukan kitab-kitab agama
yang digenggamnya. Bukan doa-doa yang dilantunkannya.
Dia tidak ingin membaca doa. Baginya, doa hanyalah cara mendikte tuhan
dan dia tidak ingin mendikte tuhan. Dia tidak pernah merasa tuhan menjawab
doa-doanya. Tidak pernah mendengarkannya. Tuhan mungkin sedang sibuk mengurus
manusia yang memperebutkan kavling di surganya. Merasa memiliki hak, merasa
satu-satunya golongan yang pantas menempati lahan yang tidak pernah diberikannya.
Dia menarik napas, menghembuskannya pelan-pelan. Membacanya kata-kata
di buku catatannya;
hujan marah
menitipkannya pada mata gadis
yang resah
mengaliri pipinya
jatuh satu-satu
hujan marah
menitipkannya pada mata lelaki
yang patah
pulang dengan tangan hampa, jemarinya
kosong
hatinya hilang separuh, harapnya mati
menyeluruh
hujan marah
pusara basah
lelaki menggali kubur di tanah basah
bingung menabur bunga
di pusaranya
0 comments:
Posting Komentar