lelah


“Tidak mudah menjadi bayang-bayang, Nak. Tidak pernah mudah menjadi bayang-bayang masa lalu seseorang. Kamu akan hilang ditelan gelap.”
Aku memeluk ibu, mengecup keningnya. Meninggalkannya yang masih duduk di sofa, menuju ke kamar. Tidak ada yang bisa menyembunyikan sesuatu dari seorang ibu. Dia memiliki naluri, intuisi, pertalian batin dengan darah dagingnya. Hal-hal yang tidak terucap, hal-hal yang kusembunyikan darinya, kepura-puraan yang kutampilkan pada wajahku, hanya sia-sia belaka. Dia mampu membaca melalui hatinya.
Ingatan sebagaimana adanya akan terkubur dengan ingatan-ingatan baru. Kau tidak memiliki kekuatan untuk menentukan ingatan mana yang kaupilih dan kau simpan, lalu kau putar berulang-ulang di kepalamu. Menertawainya, menangisinya. Ingatan memilih mana yang penting untukmu, memutarnya berulang-ulang di kepalamu. Ingatan yang kerap membuatmu menangis tersedu-sedu, membuatmu berhenti melangkah, dan ingin kembali ke masa lalu.
Dari sekian banyak cara, kamu mengekalkan ikatan dengan tulisan-tulisan panjang di buku diarimu. Tidak cukup puas, kamu menuliskannya di blogmu. Rasa pedihmu sedikit terobati. Namun, tidak pernah benar-benar terobati. Luka itu, masih saja menghantuimu dan anehnya kamu merasa bahagia dihantui masa lalu. Kamu menginginkan rasa sakit, mengekalkan rasa sakitmu, merajah tubuhmu dengan gambar yang akan mengingatkanmu dengannya. Kamu merajah bagian tubuhmu yang lain, dengan namanya.
Karnamu, aku membenci cermin besar. Cermin yang dapat memantulkan seluruh tubuhmu. Di hadapan cermin, kamu menelanjangi tubuhmu. Memerhatikan rajah yang kamu buat, memerhatikan makna di baliknya. Sesudahnya, kamu mendadak sendu. Ingatan-ingatan tentang masa lalu menarikmu kembali ke ruang yang hanya dapat kamu masuki seorang diri. Tidak ada aku di sana, tidak pernah ada.  
Aku tidak lebih dari bayang-bayang yang tidak dapat menarikmu ke masa kini, kamu hanya perlu mematikan lampu dan aku lenyap seketika.
Barangkali, di dunia ini, ada hal-hal yang hanya menjadi sia-sia belaka. Seperti berusaha menunjukkan wujudku di hadapanmu, seperti menunjukkan perhatianku kepadamu. Nyatanya, kamu tidak pernah sadar, tidak pernah. Matamu selalu saja ditutupi kabut tebal, hanya wajahnya yang terlihat jelas matamu.
Kepura-puraan seperti racun, ketika kau meneguknya, dia akan membunuhmu perlahan. Kepura-puraan seperti bom waktu, seberapa lama pun kamu menset waktunya, pada akhirnya akan meledak juga.
Aku tidak mungkin terus menarikmu dari masa lalu. Seperti seseorang pejalan yang hendak melangkah pergi dan menatap kekasihnya hanya duduk-duduk di bangku kusam, di bawah pohon rindang. Memintanya melanjutkan perjalanan, memaksanya melangkah kaki bersama, menarik kedua tangannya, dan hanya berujung pada pertengkaran.
Kita tidak perlu menunggu bom waktu meledak. Kamu tidak perlu menset waktu, kamu hanya perlu memintaku pergi. Sebelah kakiku sudah melangkah di depan, sebelahnya lagi selalu berharap kamu memintaku bertahan. Jika kamu tidak menginginkannya akan kuseret kakiku berjalan.
Tidak pernah mudah berjalan dengan terseok-seok. Memaksa satu kaki yang terluka terus berjalan dan kaki lainnya berusaha menopang beban. Tapi, lebih sulit menjadi bayang-bayang seseorang. Terlalu sulit berjuang memperjuangkan yang seharusnya dilakukan dua orang. Tidak mudah, tidak pernah mudah.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar