“Kamu baik-baik aja? Oke, nggak perlu dijawab. Wajah kamu udah nunjukin
jawaban.”
Tidak mudah bagiku menggunakan banyak topeng. Bagi banyak orang, ekspressi
wajahku lebih menjelaskan ketimbang jawaban yang kuberikan. Seperti sebuah buku yang terbuka dan kamu dapat
membacanya dengan jelas. Aku tidak dapat menyembunyikan perasaanku, wajahku
mengikuti apa yang dirasakan hati dan kepalaku. Seperti halnya ketika membenci
seseorang, seperti ketika tertimpa banyak masalah, wajahku menunjukkannya
secara jelas. Sangat jelas.
“Saya hanya butuh kopi dan rokok. Semua akan baik-baik saja. Semoga
baik-baik saja,” kataku, berusaha sehalus mungkin menanggapi pertanyaannya.
Aku mengalami banyak hal dalam sepi, sendiri, hanya ditemani
bergelas-gelas kopi dan berbungkus-bungkus rokok. Jika kopi dan rokok
dimasukkan ke dalam kategori teman, aku selalu bertiga, bersama mereka. Saat
kondisi sulit, saat kepalaku penuh dengan berbagai hal, saat hatiku sesak, aku
membutuhkan mereka. Membuatku sedikit tenang, membuatku dapat menekan banyak
hal yang berkecamuk dalam diriku.
“Kamu tau, kamu bisa cerita apa saja, berbagi apa saja. Dan, aku selalu
ada. Selalu,” kata perempuan yang duduk di sampingku. “Maaf, aku sebaiknya
diam. Kamu hanya perlu rokok dan kopi,” katanya pelan setelah melihat
tatapanku. Tatapan yang mungkin membuatnya takut.
Aku menikmati keheningan dan mungkin, dia belajar menerima keheningan. Sesuatu
yang sulit dia pelajari, karenanya sesekali dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke
meja, mengeluarkan bunyi yang sangat mengganggu. Ketukan jemarinya terhenti
ketika aku menatapnya. Kini, kakinya yang terus bergerak, seperti seorang
penjahit yang menggunakan mesin jahit manual. Tumit yang naik turun, irama
gerakannya yang semakin cepat membuat lututnya beberapa kali menambrak bagian bawah meja.
“Aku nggak baik-baik aja, tapi kopi sudah membuatku lebih tenang. Hubunganku
dengan kekasihku sedang buruk, tidak ada masa depan, jika kemungkinan-kemungkinan
kecil disingkirkan tentunya,” kataku, memecah keheningan yang tidak benar-benar
hening di antara kami.
“Aku tau, ini tidak tepat. Memang tidak ada waktu yang tepat, tapi aku
selalu menyediakan diriku sebagai tempat untukmu pulang. Kamu hanya perlu membawa kopermu,
meninggalkan dia, pulang ke aku, rumah yang selalu ada untukmu,” katanya,
nyaris berbisik.
Dia mengepal kedua tangannya, menahan getar tubuhnya. Ada setitik air
di pelupuk matanya yang tidak dibiarkannya jatuh. Dia membuat benteng, entah
untuk apa. Tidak ada yang salah jika air itu jatuh, menyusuri permukaan
wajahnya, jatuh ke tanah. Tidak ada yang salah dari sebuah pengakuan cinta
seseorang.
Aku menarik satu batang rokok, menyulutnya, menghembuskannya pelan. Menatap
langit-langit kafe, mencari jawaban dari setiap pertanyaan yang hadir di
kepalaku, memenuhi kepalaku.
“Betapa pun buruknya hubunganku dengannya, kami sedang berproses. Aku tidak
ingin memulai hubungan baru tanpa menyelesaikan masalah yang ada. Seperti seseorang
yang pergi ke tempat baru dan tersadar ada banyak hal yang tertinggal.”
Benteng itu runtuh, membuat air yang sedari tadi berdiam di pelupuk
matanya jatuh satu-satu. Getar tubuhnya semakin kuat, membuat meja sedikit bergerak.
Refleks, aku menyodorkan tissue. Ditepisnya. Dia membiarkan aliran di pipinya
terus membesar tanpa berusaha menyekanya.
“Aku akan nunggu,” katanya sambil mengubah posisi tubuhnya, menatapku.
“Saya nggak bisa minta apalagi memaksa seseorang berhenti menunggu. Tapi,
saya nggak bisa menjanjikan apa-apa.”
“Aku akan nunggu. Selalu nunggu. Entah berapa pun lamanya itu.” Dia
menyeka kedua matanya, pipinya dengan lengan bajunya.
Aku hanya terdiam saat perempuan itu berdiri dari kursinya. Menuju meja
kasir dan kembali dengan dua botol bir dingin di tangannya. Meletakkannya di
atas meja. “Kamu tau, ada rumah yang selalu menunggumu pulang. Kamu hanya perlu
datang, kapan pun itu, aku akan menerimamu.” Perempuan itu meninggalkanku
dengan dua botol bir dingin yang enggan kusentuh.
Aku hanya diam. Tidak ada keinginan menahannya. Tidak ada hasrat
mengejarnya. Di kepalaku, kini hanya tersisa dua pertanyaan. Masihkah kekasihku
menjadi tempatku berpulang? Atau aku harus membawa koper dan pulang ke rumah
baru?
0 comments:
Posting Komentar