gambar dipinjam dari sini |
Yang kau temui, tak selalu menjadi teman hingga akhir
perjalanan. Mungkin hanya menemani beberapa langkah, lalu pergi memilih arah
berbeda.
Aku selalu mengambil jeda setiap melihat persimpangan jalan. Menatap lurus
ke depan, menatap ke samping kiriku, seseorang perempuan berdiri tegak dengan
ranselnya yang menggelembung. Menatapku sambil tersenyum. Senyuman yang tidak
pernah bisa kuartikan. Aku pandir dalam mengartikan raut wajah seseorang dan
segala ekpressi yang dikeluarkannya.
Aku selalu bertanya, akankah kaki-kaki kami terus melangkah bersama. Mengambil
jalur yang sama, memiliki tujuan yang sama. Aku selalu berusaha mengesampingkan
pikiran buruk dalam benakku, meski aku sadar, dalam hidup, kita tidak bisa
mengenyahkan kenyataan. Yang tidak selalu manis dan tidak melulu pahit. Ada perpaduan
dari keduanya, tentu tidak dengan porsinya. Kadang, hidup membawamu pada
kenyataan pahit yang terus-menerus dan hanya memberimu satu kenyataan manis. Barangkali,
itu yang membuat kita begitu mensyukuri sebuah kebahagiaan.
Setiap jeda yang kuambil hanya untuk memastikan kemana langkah kakinya
berjalan. Aku tahu tujuanku tapi tidak pernah benar-benar tahu tujuannya. Kupikir,
kesepakatan-kesepakatan yang kita buat tidak mengingat, tidak pernah
benar-benar mengingat.
Kaki-kaki yang digerakkan dengan keterpaksaan, hanya membuat perjalanan
begitu menyebalkan. Amarah, keluh, tidak dapat dihindarkan. Tidak ada yang
menarik dari sebuah perjalanan yang dipaksakan. Kita hanya akan menjadi dua
pasang kaki yang marah, menyerah pada ketakutan melangkah sendirian. Meski kaki
selalu sepasang, tapi tidak dengan hati dan pikiran.
Di simpang kedua belas, dia memintaku duduk, mengambil jeda sebelum
melangkah. Meletakkan ransel yang semakin penuh dengan kisah kita di atas aspal
jalan, merebahkan tubuh yang lelah. Merenggangkan kaki-kaki yang mulai payah
berjalan. Membasuh wajah yang terkena debu, meneguk sedikit air, mengalirkan
rasa dingin pada tenggorokan, menghapus dahaga.
“Aku akan singgah beberapa waktu,” katanya, lalu menyerahkan sebotol
air mineral yang isinya tinggal separuh.
“Perjalanan kita masih panjang.”
“Jika kamu tidak singgah, itu perjalananmu. Kamu dapat menempuhnya
seorang atau temukan teman seperjalananmu.”
Aku menenggak habis air mineral kemasan itu. Mengangkat ranselku,
bersiap melanjutkan perjalanan. 12 simpang, 12 bulan, satu tahun, kami melangkahkan
kaki-kaki kami bersama. Nyatanya, hanya teman perjalanan yang singkat. Bukan teman
perjalanan hidup seperti yang selalu kuimpikan.
“Kamu tidak mau singgah?” tanyanya, memastikan diriku yang belum
mengambil satu langkah pun.
“Terima kasih telah menemani perjalananku. Selalu menyenangkan bersamamu.
Tapi, aku harus melanjutkan hidupku. Arah kita berbeda, cara kita melihat
berbeda. Semoga kamu menemukan teman perjalanan yang menyenangkan nanti.”
“Terus melangkah dan jangan lupa bahagia.” Dia melemparkan satu botor
air mineral kepadaku. Kutangkap dan kumasukkan ke dalam ransel. Aku membungkuk,
mengucapkan terima kasih dan melambaikan tangan kepadanya.
Aku terus melangkah meninggalkannya yang masih bersandar di batang
pohon yang kokoh. Memantapkan hati,
meyakinkan diri, yang belum selesai, harus diselesaikan. Perjalanan, betapa pun
berat di depan, harus ditanggung meski hanya seorang diri.
0 comments:
Posting Komentar