Aku tak tahu, tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi hujan. Dicintai
banyak orang, dihujat banyak orang. Dirindukan kehadirannya, menyirami
tanah-tanah retak yang kekeringan, menyiram pohon-pohon yang tak tersentuh
tangan manusia, mengalirkan air ke sungai, laut, danau, dan air mata pada
manusia. Yang merasa terpanggil, yang mencari-cari alasan terpanggil kenangan
hanya karena hujan jatuh pada saat dia merasa kesepian.
Kerapuhan-kerapuhan yang dialami manusia, pantaskan dialamatkan pada
hujan. Aku sendiri tidak tahu, tidak pernah tahu.
Hujan tetap datang, pada dini hari yang gigil, turun dengan derasnya. Rumah-rumah
ibarat perahu bocor, tergenang air, tak bisa dikuras, tidak mungkin dikuras
dengan tangan-tangan manusia. Tebing-tebing ibarat kue kering yang dicelupkan
ke dalam susu, begitu rapuh, begitu mudah jatuh ke dalam gelas. Menggelosor ke
bawah, menimpa rumah-rumah. HUujan tetap turun dengan derasnya, tak peduli caci
maki, tak peduli dirutuki.
Bolehkan aku meminjam kekuatanmu?
Aku tak butuh kekuatan mengalirkan air, aku butuh ketegaranmu,
keteguhan hatimu. Di depan, badai sedang menungguku. Aku tahu, aku memerlukan
perisai yang kuat, agar tak hancur, agar tak pecah berkeping-keping.
Tugasku hanya bertahan hidup. Menunggu ajal menjemput, membiarkan
malaikat bekerja sesuai SOP-nya. Karenanya, pinjamkan kekuatanmu, agar tugasku
tetap berjalan sebagaimana mestinya.
0 comments:
Posting Komentar