Baik


Selalu ada hal tak terduga dalam hidup. Tak selalu baik, tak selalu buruk. Seperti berpapasan dengan mantan dengan pasangan barunya, seperti menemukan selembar lima puluh ribuan di kantung celana di akhir bulan. Seperti hari ini.
Bapak meminta saya mengantarnya ke pengajian Tafsir Jalalain. Sejak kecelakaan yang membuat tulang bahunya bergeser, dia tak pernah lagi mengendarai motor. Temannya kerap datang menjemput, pergi menuju pengajian, entah Minggu pagi, Kamis malam atau Sabtu siang. Siang ini, temannya tidak datang. Saya mengantarnya ke masjid di kecamatan.
Sesampainya di sana, saya hendak pamit, tetapi bapak mencegah dan mengenalkan saya pada temannya – seorang lelaki yang menggunakan sorban, berbaju gamis- dan anak perempuannya. Anak saya minta diantar membeli buku, tapi saya harus mengisi pengajian. Jadi, saya minta dia nunggu sampai selesai saya mengajar, kata lelaki itu. Bapak saya dengan sigapnya mengeluarkan kalimat yang membuat rencana sabtu siang saya beratakan.
“Anak saya suka baca buku, koleksinya banyak. Biar dianter anak saya aja,  lagian, sabtu gini dia nggak ada kerjaan,” kata bapak sambil menepuk-nepuk bahu saya.
Seiingat saya, bapak tidak terlalu suka jika saya membeli buku, terlebih novel. Koleksi buku saya 90 persen novel. Dia seringkali memberi saya buku-buku agama, bahkan sesekali dia sengaja membeli dua buku, satu untuknya dan satu untuk saya. Pada akhirnya, buku-buku itu saya simpan di rak bukunya atau saya letakkan saja di atas televisi.
“Syukurlah kalo gitu, terima kasih ya mau antar anak saya,” kata lelaki itu. Saya bahkan belum mengatakan bersedia mengantar anaknya, bapak saya dan lelaki itu sudah pergi, masuk ke dalam masjid.
Saya hanya tersenyum lalu menatap perempuan itu. “Ke Gramedia, Gunung Agung atau TMBookstore?” tanya saya.
“Saya cari buku-buku lama. Di toko buku besar nggak ada. Ada alternatif lain?” tanyanya.
Saya tak menjawab pertanyaannya. Saya memintanya naik ke motor. Dalam perjalanan, kami diam. Saya tidak tahu harus memulai dengan pertanyaan atau pernyataan, dia pun sepertinya tidak terganggu dengan kebisuan di antara kami. Saya melajukan motor dengan pelan, dengan sedikit sebal, dan menerka-nerka apa yang dipikirkan bapak saya.
Bapak saya, lelaki pendiam. Tak  pernah menanyakan nilai pelajaran, menanyakan pekerjaan, dan tak pernah menyinggung tentang pernikahan. Dia memercayakannya kepada saya. Bapak, yang mengisi masa mudanya di jalan, berpindah satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, yang pulang hanya untuk memberi nafkah bagi orangtuanya, tentu paham bagaimana cara anak muda berpikir, anak lelakinya berpikir.
Tapi, hari itu datang juga. Hari ketika orang tua mulai khawatir anak lelakinya belum menujukkan tanda-tanda keseriusannya dengan perempuan. Membangun rumah tangga, menjadi suami dan ayah bagi anak-anaknya kelak.
“Kita mau belanja?” tanya perempuan itu.
Saya tertawa melihat ekspresi wajahnya yang keheranan. “Di basement, ada bursa buku murah. Banyak koleksi buku lama. Lagian, kalau soal belanja, kamu lebih hebat dari saya,” jawab saya.
Saya mengajaknya mengelilingi toko-toko buku dan berhenti di Corelli, satu-satunya warung kopi antara penjual buku dan kaset-kaset. Saya tunggu di sini ya, kamu muter-muter aja cari buku, kata saya ke perempuan itu.  Dia pun pergi.
Perempuan itu datang sambil membawa satu plastik besar setelah mengabiskan 90 menit mengelilingi toko buku. Meletakkan plastik hitam itu di atas kursi, memesan es teh manis dan duduk di hadapan saya. Dia meneguk es teh manis pesanannya, kandas dalam satu tegukan. Memesan satu lagi, ketika pesanannya datang, dibiarkannya di atas meja. Tak disentuhnya.
Entah siapa yang memulai, kami mulai bertanya dan memulai obrolan. Perempuan di hadapanku lulusan Al Azhar, Cairo, Mesir. Hapal beberapa juzz alquran. Masa SMP dan SMA-nya dihabiskan di pesanteran yang terletak di Mantingan. Maka tak heran, jika dia tak memiliki teman. Teman SD-nya tentu tak lagi dia harapkan. Suara adzan ashar memutus percakapan kami.
“Salat yuk, habis itu pulang. Biar sampe rumah sebelum magrib,” ajaknya.
“Saya nggak solat. Kamu aja. Saya tunggu di sini.”
Dia terperangah mendengar jawaban saya. “Tapi, bapak kamu kan... “
“Ustad? Iya, bapak saya ustad. Dia muslim yang taat, saya bukan.” Perempuan itu masih terdiam mendengar jawaban yang saya berikan. “Jika lelaki baik menurutmu adalah muslim yang taat, rajin salat dan baca alqur'an, saya masuk kategori yang tidak baik. Tidak masalah jika saya dicap buruk, saya sudah terbiasa,” kata saya dan perempun itu pergi menuju musala.
Setelah dia menunaikan salat, kami pun langsung pulang. Dalam perjalanan, kami kembali bisu, kembali asing. Seperti tak pernah bertanya, tak pernah tahu apa-apa. Saya mengantarnya ke rumah, memnuhi tanggung jawab kepada orang tuanya, memenuhi harapan bapak saya. Motor saya nyalakan, hendak pulang.
“Menjadi muslim yang taat itu baik. Tetapi, lelaki yang mengantar ayahnya ke pengajian, memenuhi permintaan ayahnya dan memperlakukan perempuan dengan baik, menurut saya itu baik. Di mata saya, kamu lelaki baik. Saya senang jika punya kesempatan berjalan dengan lelaki baik. Terima kasih,” katanya sambil berlalu pergi dan mengucapkan salam.









Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

3 komentar: