Suara Awan


“Bisakah kita mengekalkan ingatan?”
Aku sadar, ingatan kita terus memudar. Memuai. Tertimpa satu per satu cerita baru, tertindih kisah-kisah baru. Tergeser kenangan-kenangan yang lebih muda, yang berdiri lembut di sudut pikir, yang perlahan-lahan terlepas dengan jejak langkah kaki kita. Jejak langkah baru, kisah baru, cerita baru dan ingatan-ingatan kita menguap.
“Ingatan seperti apa yang ingin kamu kekalkan?”
“Tentang ibuku.”
“Aroma kunyit?” tanyanya.
“Ya, aroma kunyit.”
Nai pernah membangunkanku dengan nasi goreng kunyit. Aromanya menyerbak di kamarku, masuk ke hidungku, membuatku terjaga seketika. Tidak seperti pagi-pagi biasanya, bukan aroma kopi yang kuhirup, melainkan aroma kunyit, seperti aroma ibuku. Aku pernah menceritakan ketakutan-ketakutanku kepadanya. Tentang ingatan yang ingin kugenggam erat-erat tetapi terlepas pelan-pelan. Seperti pasir yang kukepal sekuat tenaga tetapi jatuh pelan-pelan melalui celah jemari.
Ingatanku akan ibu tak lebih dari sekadar aroma kunyit, daster bermotif bunga-bunga dan sentuhan lembut di kepalaku. Aku tak ingat wajahnya, tak ingat senyumannya, tak ingat suaranya. Aku hanya mengingat ketiga hal itu. Dan, ingatan paling kuat, aroma kunyit dari tubuhnya. Aroma yang mulai memudar dan membuatku ketakutan.
Aku memakan nasi goreng buatan Nai. Hanya seperempat lalu kuletkkan di atas nakas. Nai memelukku erat. Aku membiarkan aroma kunyit dari tubuhnya menempel di tubuhku dan membiarkannya masuk ke dalam kepalaku. Menyegarkan memori-memori tentang ibuku yang mulai memudar.
“Beda, Nai,” kataku. Melepas lembut pelukannya. Nai kaget lalu melepasan pelukannya.
“Nasi gorengnya beda dengan buatan ibumu. Nggak enak ya,” tanyanya.
“Bukan, bukan nasi gorengnya tapi aromanya,” jawabku.
Aroma ibuku tak sekadar wangi kunyit. Aroma tubuhnya merupakan campuran dari wangi melati, keringat, dan entah apa lagi. Tak ada yang bisa menyerupainya. Nai paham dan tak lagi membahas. Dia merebahkan tubuhnya dan menjatuhkan kepalanya di pahaku. Aku membelai lembut rambutnya, sesekali memainkan anak-anak rambutnya.
Ketika pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar, guru meminta kelasku mengarang. Aku menulis kisah tentang perjalanan ke rumah nenekku. Apa saja yang kukerjakan di sana dan tempat-tempat mana saja yang kukunjungi. Seperti anak-anak kebanyakan, seperti teman-teman sekolah lainnya, aku menulis kisah liburan, kisah perjalanan, tentang nenek dan kakek yang baik hati. Nyatanya, aku tak pernah ke rumah nenekku, tak pernah mengenal nenekku.
Aku hanya membaca kisah-kisah perjalanan itu di buku-buku perpustakaan panti. Buku-buku itu menyelamatkanku, merawatku, dan membesarkanku. Membuatku tak takut sepi, tak berpikir ada keindahan lain di dunia ini selain sunyi.
Ketika lulus SMA, aku keluar dari panti. Bekerja di toko baju. Teman-temanku yang diberi kemudahan untuk kuliah, sesekali mendatangiku. Menceritakan kuliahnya, menceritakan pengalaman barunya dan perpustakaan universitas. Aku jatuh cinta pada ceritanya yang terakhir. Perpustakaan. Satu kata yang membuatku ingin kuliah, ingin menenggelamkan diri di tumpukan buku-buku yang tak mampu kubeli.
Aku menjalani kuliahku dengan baik, lulus dan bekerja. Jatuh cinta. Untuk pertama kalinya aku berani jatuh cinta. Bukan, bukan pertama kali, tapi kesekian kali. Hanya saja, aku baru kali pertama menyatakannya pada perempuan itu. Pada Nai. Aku tak punya cukup keberanian mendekati perempuan. Aku sadar, tak ada hal menarik dalam diriku. Tak punya pekerjaan, juga tempat tinggal, juga uang, juga dan juga lainnya. Terlalu banyak juga dalam hidupku.
Kini, setelah semua berlalu, setelah memiliki pekerjaan dan kekasih, aku teringat ibuku. Ingatan samar-samar yang terus menghantuiku. Hanya aroma tubuhnya, aroma unyit, daster motif bunga-bunga dan sentuhan lembut ibuku yang bisa kuingat.
Dan satu ingatan terakhir, kecupan lembut di pipi. Sebelum dia pergi meninggalkanku di pintu panti.
*ditulis sambil mendengarkan lagu suara awan
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

2 komentar: