Kepada
Hujan;
Tolong datanglah dengan
rintik-rintik. Gerimis. Jangan langsung menderas. Ibuku sudah 70 tahun, renta.
Tak akan sanggup jika harus berlari mengambil pakaiannya yang dijemur di
halaman rumah. Aku takut dia terjatuh saat berjalan terburu-buru. Halaman
rumahku ditumbuhi rumput-rumput liar yang akan menjadi licin jika terkena
curahanmu. Ibuku dengan tubuhnya yang rapuh akan mudah tergelincir, jatuh, lalu
sakit.
Hujan, datanglah dengan tanda.
Ayahku sudah pikun. Tubuhnya tentu saja renta, dia lima tahun lebih tua dari
ibuku. Dia tidak akan membantu ibuku mengambil pakaian yang sedang dijemur. Dia
mungkin asik dengan dunianya sendiri. Terakhir bertemu, dia memangglku Ari,
kakakku, yang meninggal sepuluh tahun lalu.
Hujan, siramilah tanaman ibuku.
Ibuku gemar menanam bunga. Jika bunganya sudah mekar, dia akan memetiknya,
menaburkannya di pusara kakakku. Berdoa, menangis sesekali, dan mencium
nisannya.
Kepada
Angin;
Berhembuslah pelan-pelan. Kedua
orangtuaku mudah masuk angin. Ibuku kerap membawakan makanan untuk tetangga.
Dia sering lupa, di rumah, hanya ada mereka berdua. Masakan yang dibuatnya
berlebih dan dia membagikannya untuk tetangga. Jika dia berjalan, entah kemana
saja, berilah sepoi-sepoi agar tubuhnya dapat menahanmu dan tak membiarkanmu
masuk dalam pori-porinya.
Angin, pelankanlah lajumu. Ayahku
sesekali meninggalkan rumah. Tanpa jaket, tanpa sandal, hanya mengenakan kaus
dan celana pendek. Biasanya, tetangga menemukannya sedang duduk di depan gang, “menunggu
isteriku pulang dari pasar,” katanya pada seseorang yang berniat mengantarkannya
pulang ke rumah. Ibuku tak pernah lagi ke pasar, aktivitas itu sudah ditinggalkannya
sejak 15 tahun lalu.
Kepada
Matahari;
Pinjamkan hangat pagimu kepada
orangtuaku. Aku tahu, sebaik dan sebagus apa pun selimut yang menutupi tubuh mereka, gigil
tetap saja datang di pagi buta. Biarkan hangatmu menyelimuti tubuh mereka,
mengusir gigil yang melekat di tubuh mereka. Aku ingin memeluk mereka, di pagi
yang belum rampung, saat kamu belum hadir di ufuk timur. Namun, belum bisa,
tidak bisa.
Kepada Awan;
Mendunglah. Aku tak tahu apakah
kamu berkawan baik dengan Matahari. Kutahu, kamu selalu dekat, sungguh dekat
dengan Hujan. Jika Matahari begitu panas dan kedua orangtuaku sedang berjalan
di bawah teriknya, naungilah mereka. Bukan, bukan seperti awan yang menaungi
sang nabi. Orangtuaku manusia biasa, tak seistimewa itu. Biarlah teduhmu melindungi
mereka dari kejauhan.
Kepada ibu
dan Ayah;
Aku meminta tuhan menjaga kalian.
Ingin rasanya memeluk kalian. Membantu ibu mengambil pakaian di jemuran,
menyirami tanaman, menyekar di pusara kakak, dan menghabiskan masakan buatan
ibu. Aku tahu, pada hari-hari yang telah senja, ibu kesepian. Tak ada teman
bicara, tak ada tempat berbagi. Ibu menumpahkan segalanya kepada Ayah, yang
barangkali tak mendengarkan dan tak mengingat apa yang baru saja diceritakan.
Aku ingin menemani Ayah berjalan.
Duduk menunggu ibu di gang, menunggunya pulang dari pasar. Jika sudah bosan,
aku akan katakan, ibu sudah pulang lewat jalan lain dan menuntunmu kembali ke
rumah. Memijat kakimu yang pegal, mengolesi punggungmu dengan minyak angin.
Membuatkan teh untuk ayah dan ibu. Menemani ibu bicara, menyuapi ayah makan.
Aku ingin, sungguh ingin, tapi
tak bisa, sudah tidak bisa. Kini, aku bersama Ari, berdoa untuk kebaikan kalian
berdua. Hingga saatnya tiba, kita akan kembali bersama, sebagai keluarga.
:(
BalasHapus