jurus gagal




Temanku mengatakan, cara terbaik melanjutkan hidup setelah patah hati adalah mengobati lukanya. Sampai bagian ini, aku setuju. Kecewa, luka, dan kesedihan yang menumpuk akan mengerogoti hidup. Kita bisa saja menutup mata, berpura-pura menyelesaikan semuanya. Beraktivitas seperti biasa, lalu, pada saatnya, akan ada rasa tak enak yang mengganjal, yang sulit kita telusuri karena terlalu banyak kekecewaan dan luka yang disembunyikan dan belum disembuhkan.
Bagaimana caranya? Sebelum pertanyaan itu kuajukan, temanku sudah lebih dahulu membuka mulut, melanjutkan perkataannya.
“Tidak ada kiat khusus, setiap orang punya konteks masing-masing. Ada yang menggunakan betadine, obat merah, bahkan ada yang membiarkannya mengering tanpa menggunakan obat apa pun. Cara menyembuhkan luka berbeda-beda,” katanya.
Aku tak paham bagian ini, tidak spesipik. Setidaknya untukku.
“Ada yang menjalin hubungan baru, berharap hubungan ini dapat menyembuhkan luka hatinya. Jatuh cinta, entah sekadar pelampiasan dari rasa kesepian, alasannya bisa bermacam,” lanjutnya.
Trik ini jelas tak bisa kulakukan. Aku tak mudah jatuh cinta pada orang lain. Mencintai seseorang bukan perkara mudah bagiku. Atau bisa saja berpura-pura jatuh cinta, biar luka lama sembuh. Tapi, menyembuhkan luka dengan memberi luka pada orang lain, bukan hal baik. Apa rasanya jika kita pura-pura dicintai orang lain, tentu menyakitkan. Dan kepura-puraan, tentu saja melelahkan.
“Bisa juga menjalin hubungan dengan banyak orang sekaligus. Semacam melampiaskan dendam. Sepertinya banyak yang melakukan cara ini.”
Mustahil rasanya menggunakan cara ini. Aku tak punya kelebihan, membuat seseorang jatuh cinta kepadaku saja sulit, bagaimana bisa membuat banyak orang jatuh cinta dalam satu waktu.
Apakah karena kita pernah disakiti, lantas kita memiliki hak untuk menyikiti orang lain, menyakiti banyak orang? bagian ini langsung kucoret.
“Menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan. Menyibukkan diri dengan bekerja. Liburan, traveling sendiri. Melakukan hobi yang sempat tertunda karena pacaran. Setidaknya, dengan mengerjakan banyak hal, waktu kita tidak diisi dengan mengingat kenangan.”
Mengenai pekerjaan, baik ketika masih sendiri, memiliki pacar, lalu sendiri lagi,  tetap tak banyak yang berubah. Aku suka pekerjaanku. Aku suka menulis. Pekerjaanku menulis. Jadi, ada atau tanpa pacar, aku senang bekerja, senang menulis. Mengenai hobi, bisa dibilang aku nol hobi. Aku hanya suka membaca dan itu pun untuk menunjang pekerjaanku sebagai penulis.
Travelling, pernah kulakukan beberapa kali, hasilnya buruk. Sepanjang perjalanan, aku membayangkan mantanku ikut bersamaku. Duduk berdua, entah di pantai atau di depan tenda ketika mendaki gunung. Membuatku merasa lebih sepi dari sebelumnya. Setelah kejadian itu, aku tidak berniat melakukan traveling lagi.
Temanku diam, mengambil jeda setelah mengucapkan banyak kata. Dia mengambil bungkusan rokok yang tergeletak di atas meja. Mencomot satu batang dan menyulutnya. Tangan kirinya mengambil gelas kopi, isinya masih penuh. Ketika pramusaji datang membawakan kopi pesanannya, dia sedang sibuk mengajarkan jurus kepadaku. Tak sempat dia menyeruput kopi itu.
“Lalu, apa yang kamu pilih?” tanyanya. Aku bergeming. Melihat raut mukaku yang datar, dia melemparkan satu pertanyaan baru untukku. “Pernah mencoba hal baru?”
“Seperti apa?” kataku.
“Apa yang sangat kamu inginkan dan belum kesampaian. Keinginan yang ada, bahkan sebelum bertemu dengan mantanmu?”
“Berkeliling kebun kopi di Indonesia. Mencicipi kopi yang dibuat petaninya.”
“Lakukan saja itu. Tidak perlu berpikir macam-macam. Jangan berpikir output dulu, bisa saja lukamu masih tetap ada setelah mengelilingi kebun kopi. Jangan memikirkan pekerjaan. Di jidatmu terlihat jelas, perjalanan ini akan kamu gunakan sebagai bahan tulisan. Jalani saja, nikmati saja.”
Aku mengangguk. Mencomot satu batang rokok dan menyulutnya. Mengambil kopi temanku, kopiku sudah tandas saat mendengarkannya bicara.


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar