“Dia seperti udara, seperti
bintang di malam kelam, seperti matahari pagi yang hangat, seperti kecupan
seorang ibu kepada bayinya,” katanya.
Lelaki itu berbicara tentang harapan.
Harapan yang dia kumpulkan dari seorang teman yang mendoakan setelah sekian
lama tak berjumpa, dari ucapan-ucapan di media sosial saat berulang tahun, dari
seorang pengamen di kaki lima, anak kecil penjual tissue, pesan nyasar yang
mendarat di inbox telepon genggamnya, hingga selebaran yang dia temukan
di jalan. Dia mengumpulkannya, entah untuk apa.
“Aku tak bisa membuatnya
karenanya aku mengumpulkannya,” jawabnya ketika kutanya kenapa mengumpulkan
harapan dari orang lain.
Aku masih tak mengerti, bagaimana
seseorang hidup tanpa harapan. Sekecil apa pun, seredup apa pun, selama tak
padam, nyala harap membantumu bertehan hidup. Lelaki itu tersenyum mendengar
perkataanku. Senyuman yang seolah mengatakan, selalu ada kemungkinan-kemugkinan
dalam hidup, seperti seseorang yang hidup tanpa harapan.
“Jika kamu tak punya harapan,
lantas kenapa tidak mati saja?” tanyaku.
“Mati, bukan urusanku, itu urusan
tuhan. aku tidak ingin mencampuri urusan tuhan. Kita punya jatah masing-masing
dan aku, tak ingin mencampuri jatah tuhan,” jawabnya. Lantas untuk apa harapan
yang kukumpulkan dari orang lain, begitu kan pikirmu,” tanyanya.
Aku diam. Dia tahu apa yang
kupikirkan.
“Untuk menunggu. Menunggu tuhan
menjemput ajal. Kupikir, aku tak berhak melakukan hal-hal konyol dengan
membunuh diriku sendiri. Meski aku menyadari, di dunia yang tidak baik-baik
saja, menyerah bukanlah hal yang perlu ditertawakan. Dunia, di mana kamu merasa
bukan pejuang dan tak ingin lagi berperang, kamu ingin menyudahi peranmu. Aku memilih
peran sebagai penunggu. Mengumpulkan harap, pekerjaan sampinganku. Pekerjaan utamaku
adalah menunggu. Menunggu tuhan menjemput ajal.”
0 comments:
Posting Komentar