aku tak suka
hujan
perempuan
itu mengajariku menyukainya
kemudian
membencinya
lebih dari sebelumnya.
Aku tak suka hujan. Tak suka air
yang jatuh dari langit itu mengacaukan hari-hariku. Mengganggu pekerjaanku,
membuat bajuku basah, membatalkan janji pertemuan dengan seseorang karena
genangan air membuat jalan sulit dilewati. Aku tak perlu hujan untuk memanggil
kenangan. Hujan, bukan tiket menaiki kereta masa lalu. Aku hanya perlu berjalan
ke sudut ingatanku. Sebuah pohon kenangan tumbuh subur di sana, tak perlu
hujan, tak juga sinar matahari. Dia tumbuh, dengan atau tanpa dirawat.
Kenangan dirawat waktu, dipupuki
kekecewaan, disirami keputusasaan, dan disinari harapan. Bohong jika kau tak
ingin mengulang sesuatu yang indah bersama mantanmu atau mengutuki luka yang
ditingalkan kekasihmu.
Namun, aku tak selalu membenci
hujan. Ada hal-hal yang membuatku bersyukur kepada hujan. Pertemuan denganmu,
kuurutkan posisi pertama akan rasa terima kasihku pada hujan. Sore itu, selepas
pulang kerja, hujan turun dengan derasnya, menambah kisruh suasana menunggu
taksi. Sore, hujan deras, dan perebutan taksi, perpaduan yang apik, yang hanya
dapat dikalahkan antrean busway atau commuterline.
“Kalibata, Pak,” kataku pada
supir taksi, diiringi kalimat serupa, dengan nada yang lebih lembut, lebih
pelan.
Aku terperajat melihat perempuan
di sampingku. Dia, tak kalah kagetnya denganku. Aku membuka pintu taksi, hendak
keluar, tetapi dia menyentuh tanganku. “Kita berbagi aja, lagian searah,”
katanya dan membuatku mengurungkan niat
mencari taksi lain.
Kami saling diam, saling
observasi, saling mengamati. Namun, kebisuaan kami pecah saat supir taksi
menanyakan arah yang kami tuju. Kalibata City, Pak, kataku. Gudang peluru,
katanya. Pak supir memarkirkan mobilnya ke kiri jalan, dia menatap kami dengan
wajah heran. Jadi kemana?” tanyanya, sedikit kesal. Kami tertawa berbarengan,
entah apa yan lucu. Akhirnya, kami sepakat, taksi mengantarku lebih dulu lalu mengantarnya
pulang. Tentu saja, setelah kami bertukar nomor telepon genggam.
Setelah hari itu, kami saling
bertukar sapa lalu beranjut ke pertemuan tatap muka. Baginya, ini pertemuan
rahasia, bagiku, ini pertemuan biasa. Belakangan, baru kuketahui, dia sudah bertunangan
dan kami tak bisa melabelkan apa-apa hubungan ini. Aku tak keberatan dengan dua
hal itu. Aku mencintainya dan alasan itu cukup untuk menutup mata dari kedua
hal itu.
# # #
Aku tahu hari ini akan tiba. Aku
hanya tak siap akan secepat ini. Aku tak bisa menuntut meski aku ingin menuntut. Aku hanya kekasih additional.
Tak punya kuasa apa-apa.
Aku ingat pertemuan terakhir
kami. Kekasihku datang ke apartemenku dalam keadaan basah. Bibirnya pucat,
giginya beradu menahan dingin. Macet, aku terpaksa lari menembus hujan,
katanya, ketika aku menariknya masuk ke kamarku. Blouse putih yang dia
kenakan meneteskan air, membasahi karpet kamarku, juga menampilkan lekuk
tubuhnya yang indah. Bra berwarna merah muda menembus bajunya yang transparan,
sangat kontras dengan kulitnya yang putih.
Aku mengambil handuk dari lemari.
Mengelap rambutnya saat dia sibuk melepaskan pakainnya. Setelah seluruh
pakainnya jatuh ke lantai-termasuk bra merah muda itu- dia mengambil handuk
dari tanganku dan berjalan cepat menuju kasur. Aku memunguti pakaiannya,
membawanya ke kamar mandi.
“Selimutnya kurang hangat, ngga
mau gabung,” katanya ketika aku keluar dari kamar mandi. Tubuhnya telah
sepenuhnya tertutup selimut, hanya kepalanya yang menyembul.
Aku langsung merangsek masuk
dalam selimut. Memeluknya. Mencium keningnya dan mencium matanya, melumat habis
bibirnya. Bibirku mulai menjalari bagian bawah telinganya, dia bergeliat,
mencengkram rambut di kepalaku. Aku tak memedulikannya dan terus bergerilya,
menjatuhkan bibirku pada lehernya. “Jangan keras-keras, jangan ninggalin
bekas,” pintanya yang membuatku kesal.
Aku sengaja mencium lehernya
kuat-kuat agar meninggalkan bekas. Dia menarik kepalaku lalu mendorong pelan ke
bawah. Dengan sedikit kesal, aku mengecup payudaranya, melumat payudara kirinya
sambil tangan kananku meremas payudara kanannya. Menciumnya kuat-kuat, meremas
payudaranya kuat-kuat. Dia mendorong tubuhku pelan, aku mengikuti keinginannya.
Turun lebih bawah, menjelajahi pangkal pahanya. Bibirku sibuk mengecup,
tanganku terus meremas gunung kembarnya. Dia bergeliat, mencengkaram rambutku
lebih kuat dan menarik kepalaku tepat di bagian selangkangnya.
Suara telepon berdering, aku tak
memedulikannya. Terus saja kutelusuri tubuhnya dengan bibirku. “Aku harus
pulang, ayahku sakit,” katanya. Menarik tubuhku, memelukku dan menciumku
berkali-kali lalu pergi ke kamar mandi setelah mengambil pakainnya di lemari.
Beberapa helai pakaian yang sengaja dia tinggal di kamarku.
Aku menciumnya sekali lagi,
mengantarkannya ke pintu. Aku harus menuntuskan apa yang belum selesai. Menuju
kamar mandi dan mengurasnya sendiri.
Aku membuka tirai jendela, hujan
turun pelan-pelan. Aku pernah menyukai hujan dan kini, aku kembali membencinya.
0 comments:
Posting Komentar