“Ceritakan satu rahasia yang
belum pernah kamu bagi ke siapa pun!”
Dia memulai minggu pagi dengan
sebuah permintaan yang membuat pusing kepala. Sebuah rahasia, yang seharusnya
menjadi milik sendiri, kini, dimintanya untuk dibagi. Aku tahu betul maksudnya.
Bukan kebiasaaan-kebiasaan aneh yang dia ingin dengar dariku. Bukan hal-hal
remeh tapi sesuatu yang lebih besar dari itu. Sesuatu yang sulit kubuka. Banyak
dinding, terlalu banyak dinding yang kubangun untuk menutupinya.
Aku tak ingin meruntuhkan dinding
itu. Menghancurkan dinding seperti
melepas satu per satu pakaian. Aku tak ingin terlihat telanjang di mata orang
lain. Kini, dia memintaku merobohkannya, melepaskan satu per satu pakaianku. Mata
yang sayu, yang tak lepas menatapku, seperti ingin melucutiku, menelanjangiku. Membuka
sudut-sudut kelam yang tersimpan rapi dalam diriku.
“Aku . . . ingin membunuh ayahku,”
katanya, seperti melepas satu tirai yang menutupi hidupnya. “Lelaki brengsek,
yang pulang hanya untuk memenuhi berahinya. Menelantarkan anak-anaknya. Aku . .
. ingin menghabisinya.”
Aku menatapnya, dia mengalihkan
pandangannya, entah menatap kendaraan yang lalu lalang di jalan atau sekadar
mengalihkan pandangannya dariku. Tak ada isak, hanya sudut mata yang basah tapi
tak tumpah. Dia menyeka halus bagian itu dengan punggung tangannya. Aku masih
diam, menantinya melanjutkan pembicaraan.
“Kupikir, setiap anak membutuhkan
cinta dari kedua orangtuanya. Bagi gadis kecil, Ayah adalah cinta pertamanya. Tak
jarang menjadikannya patokan dalam memilih pasangan. Aku tak menemukan kedua
hal itu dari ayahku. Si brengsek itu kerjanya cuma mabuk, pulang untuk
bersenggama dengan ibu dan tak jarang memukuli aku dan adikku. Jika hanya itu yang
bisa dia lakukan, rasanya, aku tak butuh ayah. Dan, orang-orang di luar sana
yang merasakan hal sama, kupikir, lebih baik lahir tanpa ayah,” tambahnya.
Aku pernah bertanya perihal bekas
luka di bahu kanannnya, juga di betis kirinya. Saat itu, dia menjawab karena
terjatuh saat bermain waktu kecil. Kini aku tahu, luka itu bekas pukulan si
brengsek itu. Luka yang membekas, yang setiap kali kaulihat tak hanya
memancarkan kesedihan, juga amarah, juga dendam, juga rasa sakit yang dalam.
“Kapan kamu akan membunuhnya?”
Dia terperajat dengan pertanyanku.
Bukan hanya dia, aku pun kaget mendapati diriku mengatakan hal itu. Barangkali,
amarah dalam dirinya mengalir dalam diriku.
“Entah. Selalu gagal, selalu
buntu. Padahal, sangat mudah, saat si brengsek itu mabuk, aku bisa dengan mudah menancapkan pisau ke
tubuhnya berkali-kali. Tapi tak bisa, tak mampu.” Dia mengalihkan pandangannya.
Menatapku lagi dengan pandangannya penuh tanya. “Kamu?” katanya, memintaku
membuka rahasia.
“Aku selalu ingin mati.”
Aku mengambil sebatang rokok,
menyulutnya. Mengambil jeda sebelum meneruskan pembicaraan. Setiap hembusan
yang kukeluarkan seperti merobohkan satu tembok. Dan anehnya, begitu mudah,
begitu ringan.
“Janji jangan ketawa,” pintaku.
“Tak akan,” jawabnya mantap.
“Sejak SMA, aku selalu ingin mati,
keinginan itu bertahan sampai sekarang. Mungkin tak sekuat dulu tetapi tetap
ada, tak hilang seluruhnya. Saat itu, aku masih sesekali salat. Selepas salat
aku berdoa dan memberikan tuhan pilihan. Jika hidupku hanya akan buruk, entah
menjadi penjahat atau pesakitan di kemudian hari, baiknya cabut saja nyawaku
sekarang. Jika hidupku lebih baik, biarkan aku hidup, begitu permintaanku pada
tuhan. Nyatanya, hidupku biasa-biasa saja. Tak baik, tak juga buruk. Mungkin itu
yang membuat keinginanku untuk mati berkurang
sekaligus tak pernah hilang.”
“Kenapa tak bunuh diri?”
tanyanya.
“Entah. Aku tak pernah memikirkan
bunuh diri, tak ingin mati dengan cara seperti itu. Mungkin lain waktu akan
kupikirkan, juga caranya, juga waktunya.”
Dia mengambil rokok dari
tanganku, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya. Ada jeda cukup
panjang sebelum dia berucap kepadaku, “Janji, jangan mati sendirian,” katanya.
Aku mengangguk. Tak ingin
bertanya kenapa dan apa alasannya.
Allah, blogger idolaque
BalasHapusAllah, blogger idolaque
BalasHapuskalo jomblo.co ada cerpen galau, saya kirim deh.. haha
Hapus