Ingar-Bingar


Dia menuruni tangga panggung. Membawa Xylophone. Tubuhnya dibalut parka hijau yang warnanya hampir memutih, pudar akibat terlalu sering digunakan. Aku pernah memberinya parka berwarna biru tua. Namun, jarang dia kenakan. Aku lebih nyaman mengenakan pakaian usang, katanya.
Di balik parka, dia memakai kaus putih bergaris hitam yang bagian lehernya sudah kendur. Yang tak mengenalnya akan mengira, dia tak pernah berganti baju. Di panggung, di  tempat nongkrong, di perjumpaan yang tak sengaja dengan teman-temannya, di waktu kami bersama, entah sekadar mencari makan atau ngopi, dia menggunakan kaus putih bergaris hitam tipis-tipis.
“Ganti bajunya dong, bau tau,” kataku. Dia menyikut lenganku dan tersenyum. Dia hafal betul ejekan ini, ejekan yang kudapat dari teman-temannya. Sepertiga lemarinya dipenuhi kaus putih bergaris hitam tipis-tipis. Yang membedakan hanya modelnya saja, ukuranya sama, medium.
Dia duduk di sampingku, melorotkan tubuhnya. Kakinya menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Peluh mengucur dari dahinya. Rambut panjangnya yang hanya dikuncir satu basah, dibasahi keringat. Kacamatanya berembun. Aku melemparkan handuk kecil yang jatuh tepat pada wajahnya. Dia membiarkannya sejenak berada di sana, mengambil kacamatanya, meletakkan di samping tubuhnya lalu mengelap wajahnya.
Aku menyodorkan air mineral, diambilnya, kemudian diteguknya.
“Aku pamit ke temen-temenku. Sebentar. Tunggu di parkiran,“ katanya seraya menyerahkan handuk yang basah dan botol air kemasan yang isinya sudah kosong.
Aku berjalan menuju parkiran. Duduk di atas motor, membakar rokok. Memperhatikan orang lalu-lalang, mengambil kendaraan, meninggalkan keramaian. Sepasang bergandengan tangan, sekelompok muda-mudi tertawa, seorang dengan telepon genggamnya.
“Yuk,” katanya. Mengambil helm yang disangkutkan di kaca spion.
Aku mengendarai motor perlahan. Dia memelukku erat, menyandarkan kepalanya pada punggungku, membuatku pegal. Aku menambah kecepatan, dia menarik pelukannya, memasukkan tengannya ke saku jaketku. Bersiul. Bergumam. Berisul lagi. Bergumam lagi dan berhenti melakukan kedua hal itu ketika motorku berhenti di depan pagar rumahnya. Dia turun dari motor, tanpa melepas helm, membuka pagar. Aku memasukkan motor, menutup pagar, dan melihatnya memasuki rumah.
Sambil menunggunya yang melakukan entah, aku menyulut rokokku. Bersandar dan Menaikkan kaki ke atas meja. Dia keluar dengan membawa dua cangkir kopi. Menghempas lembut kakiku, aku menurunkannya dari meja.
“Kadang, saya mensyukuri dunia yang tidak adil ini. Kamu, yang memiliki lumayan banyak penggemar –untuk tak mengatakannya terkenal dan memiliki banyak fans- jatuh hati kepada saya. Aku cuma pria yang memilih berteman sepi. Memilih sendiri. Takut keramaian,” kataku.
Aku sering merutuki hidup. Mengutuk ketidakadilan di dunia ini. Adil hanyalah kata untuk menenangkan manusia. Membuat manusia percaya dan tidak bertindak semena-mena. Sebuah kata yang sia-sia, yang dituntut banyak orang,  diharapkan banyak orang tetapi tidak pernah terjadi. Aku mengira, sejak awal, tuhan memang men-setting dunia ini dengan ketidakadilan. Agar tetap ada tangis, ada duka, ada marah.
Sebegitu kesepiankah tuhan?
Namun, aku berjumpa dirinya. Dan untuk kali pertama dalam hidup, aku mensyukuri ketidakadilan yang tuhan ciptakan.
Dia menggeser tempat duduknya, tepat di sampingku. Lengannya menempel dengan lenganku. Meletakkan tangan kirinya di atas punggung tanganku. Tersenyum.
“Di balik ingar-bingar panggung, saya tidak lebih dari seorang gadis sepi. Di atas panggung, saya menjadi diri yang mencintai musik. Berjingkrak, bernyanyi, menikmati alunan musik, menikmati keramaian. Tapi . . . di balik panggung, saya hanya seorang gadis sepi yang mencintai pria sepi."
"Sesederhana itu?" tanyaku. Mempererat genggaman tanganku.
"Ya, tentu dengan kompleksitasnya." 
Dunia, mungkin tidak adil, tidak pernah adil. Aku mungkin tak bisa berhenti mengutuk, tidak pernah bisa. Tapi, aku bisa sesekali bersyukur, bersyukur memilikinya.
*untuk seorang perempuan yang memainkan Xylophone di atas panggung. Saya lupa nama band-nya. Nanti, jika bertemu lagi, saya akan memberanikan diri menyapa.




Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

2 komentar:

  1. Balasan
    1. kayaknya saya jatuh cinta pada prempuan parka hijau, kaus putih garis hitam tipis-tipis pemain Xylophone.. haha

      Hapus