Ireng duduk di bawah pohon rindang, ditatapnya jalan menanjak, ditanya
hatinya sekali lagi, dia harus yakin dengan keputusannya. Setelah mencapai
puncak nanti, tak akan ada jalan pulang. Dia akan menjadi sosok yang berbeda.
Hatinya mengangguk mantap, yakinnya telah menggunung, seperti kebenciannya yang
sudah menggunung. Gunung merapi yang siap memuntahkan lava dan membunuh siapa
saja.
Kiri dan kanan jalan ditumbuhi pohon-pohon tinggi menjulang. Anggrek
hutan menempel di salah satu dahan pohon yang tinggi itu, Ireng tersenyum.
Semakin indah sesuatau, semakin sulit kau menggapainya, gumamnya. Rasa sakit di
kakinya membuatnya berhenti. Dua ekor pacet sedang asik menghisap darahnya. Dia
mengambil satu batang rokok kretek, menyobeknya dan menaburkannya di tubuh si
pacet. Kedua pacet pelahan melepaskan hisapannya dan jatuh dari kakinya.
Di ujung jalan menanjak, terdapat tanah landai yang tak terlalu luas.
Di bawah pohon besar berdiri satu rumah yang terbuat dari anyaman bambu.
Seorang lelaki tua menggunakan pakaian serba hitam sedang duduk di atas bale di
depan rumahnya. Tangannya melempar-lempar sesuatu. Ireng yakin, yang
dilemparnya itu bunga melati. Tapi untuk apa, dia tak tahu. Dia berjalan perlahan
mendekati lelaki tua itu.
“Wahai Guru, terimalah aku menjadi muridmu,” pinta Ireng ke lelaki tua
itu.
“Pulang, bocah. Kau salah tempat.” Lelaki itu tak mengubah posisi
tubuhnya, pandangannya lurus ke depan, tangannya masih melemparkan bunga
melati. Kemenyan dan pasir-pasir.
Ireng menjatuhkan diri di belakang lelaki tua itu. Tumitnya menempel di
tanah, kedua tangannya ditangkupkan di dada, seraya memohon agar lelaki yang
membelakanginya mau berbaik hati mengajarinya ilmu-ilmu. Tak cukup bertumpu
pada lutut, ireng menjatuhkan tubuhnya, ujung kepalanya menyentuh tanah, persis
posisi sujud dalam salat. Kedua tangannya diangkat, diletakkan di atas
kepalanya.
“Aku tidak butuh murid, aku tidak mau mewariskan ilmuku. Kalau pun ada,
aku memilihnya.”
“Kalau gitu, pilih aku jadi muridmu,” pinta Ireng tanpa mengangkat
kepalanya.
“Untuk apa kamu belajar dariku, hah? Biar kaya, hah?”
“Aku tidak butuh kaya. Aku tidak butuh apa pun tentang materi. Aku
ingin membunuh seseorang, membalaskan sakit hatiku padanya.”
Ireng menangkat sedikit kepalanya ketika kaki tanpa alas kaki itu
menyentuh kepalanya. Ireng diam, tak berani mengangkat kepalanya lebih atas
lagi. Kaki kiri lelaki tua menyentuh kepala Ireng, lalu menusuk-nusuk bagian
punggungnya dengan bujari kemudian menapakkan kakinya di atas punggungnya. “Kau
boleh menjadi muridku, katanya seraya mengangkat kakinya dari punggung Ireng.
# # # # # #
Asep Sentana tak tahu persis kapan namanya berubah menjadi Ireng.
Sebagaimana kebanyakan orang tua, nama yang disematkan pada anak merupakan
doa-doa, seperti nama yang disematkan kepadanya, Asep, Kasep, yang berarti
tampan. Seperti kita tahu, doa-doa tak selalu diijabah tuhan dan kita bisa
melihat kisah nyata itu dalam diri Asep.
Kulitnya yang hitam legam, postur tubuhnya yang kurus dan tinggi serta
sedikit bongkok di punggungnya membuatnya terlihat seperti tiang listrik yang
terimpa pohon, sedikit bengkok dan penyok. Kenyataan pahit itu bisa sedikit
diterima orang jika wajahnya sedikit tampan, sayangnya, wajah Asep tak tampan,
ada totol-totol yang tumbuh di sana. Awalnya hanya satu, lalu dua, lalu tiga,
totol itu beranak pinak dan tumbuh di berbagai sisi wajahnya.
Di lingkungan rumah, di sekolah, Ireng selalu menjadi bahan
bulan-bulanan temannya. Bahkan di tempat yang baru dikunjunginya sekalipun,
tatapan aneh selalu tertuju padanya. Bukan sekali dua kali Ireng meminta
berhenti sekolah. “Tak capek kamu miskin, Nak. Sudahlah, jangan macam-macam,
belajar yang benar biar hidupmu lebih baik,” kata Emaknya dan Ireng langsung
mundur dari hadapan emaknya, pergi ke sumur, menimba air banyak-banyak.
Suatu pagi Ireng terbangun dengan perasaan senang dan was-was. Senang mendapati
mimpi yang indah, memeluk seorang gadis tanpa melihat wajahnya. Perasaan senang
itu diikuti rasa was-was, takut emaknya tahu celananya basah. Ireng pergi ke
sumur sambil memegangi selangkangannya dengan kedua tangan. Emaknya yang sedang
memasak di dapur heran melihat tingkah anaknya. “Bukan ngompol, mimpi basah.
Sudah baligh kamu, sudah bisa buntingin gadis, kata emaknya ketika Ireng
malu-malu mengatakan ngompol saat tidur.
Seperti remaja lainnya, Ireng mulai mengerti rasa suka. Ya, suka, cinta
belum jelas benar di kepalanya yang masih muda itu. Dia juga sering membaca
sobekan-sobekan majalah yang menjadi pembungkus bumbu dapur yang dibeli emaknya
di pasar. Ireng pernah menemukan artikel konsultasi seksual, dia bergidik membacanya.
Aku pernah melakukannya, sambil senyum dia melanjutkan bacaannya. Sayang, hanya
dalam mimpi, gumamnya ketika menyelesaikan artikel yang separuh itu. Sisanya
ada di sobekan kertas lain, entah berada di mana.
Ireng mencoba mendekati beberapa gadis di sekolahnya. Jangan banyangkan
Ireng menghampiri mereka di kantin atau di gerbang sekolah lalu mengajak mereka
pulang bersama. Baru menghampiri di lorong sekolah saja, gadis-gadis itu sudah
menjauh darinya. Tidak ada yang tahan berada di dekatnya. Ireng pun mengubur
mimpinya memiliki kekasih dan hanya mengkhyalkannya sebelum tidur dan berbuah
basah di selangkangannya.
Semasa SMA, Ireng menyukai seorang gadis, Maryam namanya. Tiga tahun
bukan hal mudah bagi Ireng memendam cintanya. Ireng berpikir ratusan kali untuk
menyatakan perasaannya, tapi pengalaman pahit di SMP membuatnya mundur. Ireng
mulai menulis surat cinta, tak terhitung buku tulisnya dirobek dan dijadikan
bola-bola kertas yang dibuang di bawah kolong tidurnya. Hingga suatu hari Ireng
memutuskan untuk menghampiri Maryam di kantin sekolah dan berniat menyerahkan
surat darinya.
Surat yang disodorkanya ke Maryam masih digenggamnya ketika ludah Maryam
jatuh tepat di wajahnya. Belum satu kata pun keluar dari bibirnya. Dia mengelap
wajahnya dengan surat itu lalu pergi meninggalkan sekolah. Selamanya.
#
# # # # #
Di bawah arahan gurunya, Ireng mulai menjalani mlaku seminggu.
Seminggu hanya meminum air putih, seminggu hanya makan singkong, seminggu hanya
makan nasi putih yang dikepal-kepal dan diberi sedikit garam. Selama 40 hari
Ireng tidak diperbolehkan memakan makanan bernyawa. Jika melanggarnya, dia
harus memulainya dari awal dan artinya, dia semakin lama berhasil mencapai
keinginannya.
Ireng tak boleh menggunakan alas kaki. “Biasakan kulit kaki menyentuh
tanah agar kau menyatu dengan bumi,” kata gurunya suatu waktu.
Setelah 40 hari, Ireng diajarkan mantra-mantra. Setiap mantra memiliki
tingkat kesulitan berbeda-beda. Kadang dia harus melapalkan mantra tanpa henti
di bawah pohon besar, kadang di atas batu kali, di cabang pohon, di bawah
gubuk, kadang sambil merebah di atas tanah tanpa mengenakan pakaian. Sehelai benang
pun tak boleh menempel di tubuhnya.
“Jangan bergerak, jangan membuka mata sampai aku bilang buka. Akan
banyak godaan datang, makhluk-makhluk itu ingin tahu kehebatanmu,” kata gurunya
ketika menyuruhnya duduk di atas batu kodok di dalam goa.
Di atas batu itu terdapat stalaktit yang menjatuhkan air satu-satu. Air
itu harus tepat jatuh tepat di atas kepala. Jika ujian ini berhasil dia lewati,
dia akan naik satu tingkat. Jika gagal, maka ilmunya tak bisa digunakan.
Godaan menjelma apa saja, kadang suara ketawa, suara benda jatuh,
kadang seperti ada yang memeluknya, membuatnya gigil.
Ireng hampir saja membuka matanya ketika godaan itu membisikkan
pengalaman pahit hidupnya di dalam hati. Setan tahu, hati manusia rapuh dan
mudah menjadi sedih. Ireng ingat pesan gurunya, jangan bergerak, jangan membuka
mata dan dia tak mau kalah dengan dedemit-dedemit itu. Pagi itu gurunya
memintanya membuka mata, sambil tersenyum puas dia mengatakan, kamu telah naik
satu tingkat bocah. Ireng tersenyum lalu ambruk.
# # # # # #
Sejak Maryam meludahi wajahnya, Ireng tak mau lagi sekolah. Dia tetap
berangkat pagi hari menggunakan seragam sekolah lalu berbelok ke arah pasar.
Menjadi kuli panggul, mengerjakan apa saja agar pikirannya menjauh dari
penghinaan itu. Seperti kita tahu, memaksa melupakan sesuatu hanya akan membuat
ingatan itu semakin melekat di ingatan kita. Penghinaan itu menyulut bara di
hatinya, menjadi api dendam yang besar dan siap melahap siapa saja.
Seperti disiram bensin, api di hatinya membesar ketika melihat Maryam
jalan bergandengan tangan dengan seorang pria. Merasa rikuh ditatap seperti
itu, Maryam melengos, memalingkan wajahnya. Lelaki yang bersamanya tak terima
dan menghajar Ireng habis-habisan. Memar memenuhi wajahnya, membuat giginya
tanggal tiga.
Ireng pulang dalam keadaan payah. Emaknya yang sakit keras dan
terbaring di kasur menatap wajah anaknya dengan tatapan nanar. Dihampiri
ibunya, dicium punggung tanggannya, dipeluknya. Indung dan anak itu menangis
berdua. “Kejamnya hidup ini, Mak.” Tangisnya pecah disusul suara tangisan
emaknya yang semakin besar. Suara tangis emaknya memelan, tak berganti isak,
tetapi kematian. Emaknya mati meninggalkannya seorang diri.
“Buruk rupa aku, miskin aku, dihina semua orang, dihina perempuan. Kini
kau ambil emakku, maumu apa tuhan?” teriak Ireng.
# # # # # #
Ireng memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, bersiap pulang ke
kampungnya. Bersiap menuntaskan dendamnya.
“Bocah, kamu bisa sehebat diriku jika tekun berlatih. Kamu tidak
memiliki bakat alam tetapi dendammu sungguh besar. Itu yang menjadikanmu
hebat.”
Dicium tangan gurunya, diambilnya kalung yang diserahkan kepadanya.
Ireng tak ingin menjadi hebat, tak ingin menguasi seluruh ilmu gurunya. Dia
hanya ingin menyelesaikan apa yang seharusnya diselesaikan. Dia merasa ilmunya
cukup untuk mengakhiri semuanya.
# # # # # #
Seperti kepergiannya yang tak pernah dipertanyakan orang-orang,
kedatangannya pun ke desa hanya dianggap angin lalu saja. Ireng tak pernah
dianggap ada atau jika ada yang memerhatikannya, dia hanya dianggap seonggok
tai di atas aspal yang ingin segera dienyahkan.
Kabar pernikahan Maryam sampai ke telinganya. Di kampung ini, kau tak
perlu bersusah payah mencari kabar orang lain, dia akan datang kepadamu dengan
sendirinya. Ireng tersenyum sinis, waktu yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga.
Suara petasan mengubah suasana pagi yang hening menjadi ingar bingar.
Suara petasan digantikan Alunan rebana, suara fals ibu-ibu yang melantunkan
salawat menyambut kedatangan besan, keluarga mempelai pria. Sambut-menyambut di antara kedua keluarga telah usai. Kedua
mempelai duduk di hadapan penghulu, bersiap melapalkan janji suci.
Ireng beridiri di bawah pohon, memerhatikan kedua mempelai yang meski
tak terlihat wajahnya pasti sedang tersenyum bahagia. Dia mulai melapalkan
mantra-mantra, membacanya berkali-kali, matanya tak lepas dari Maryam. Mempelai
pria menjabat tangan penghulu, penghulu menarik tangan itu erat, mengucapkan
kata-kata. Belum keluar satu kata patah pun dari bibir mempelai pria, Maryam
ambruk. Dari mulutnya keluar kalajengking, kaki seribu, lalu darah kental.
Maryam menggelepar, mati seketika.
Sejak kematian Maryam, warga mulai mempertayakan keberadaaan Ireng. Ireng
hilang bak ditelan bumi. Ada yang mengatakan Ireng pergi menemui gurunya di
ujung hutan dekat Selat Sunda. Ada yang mengatakan Ireng Moksa, betapa di Goa.
Namun tak ada satupun yang tahu keberadaannya.
Ireng tak lagi dianggap seonggok tai, tak lagi dianggap angin lalu.