Liburan hanyalah memindahkan aktivitas dari satu tempat ke tempat baru.
Definisiku mengenai liburan ditentang habis Nai. Bagi Nai, liburan melepaskan
atribut sehari-sehari, menanggalkan pekerjaan, melakukan hal-hal baru. Mengunjungi
tempat wisata, mencicipi makanan di berbagai tempat dan tentu saja
mengabadikannya dalam bidikan kameranya.
Liburan bagiku hanya memindahkan aktivitas sehari-hari. Jika biasanya
aku menikmati kopi di dalam kamar, kini berpindah ke penginapan. Jika menghabiskwan
waktu berjam-jam di kedai kopi yang menurut Nai monoton karena hanya mendatangi
tempat itu-itu saja, kini, mencicipi kedai kopi baru, tentu membawa komputer
jinjing dan bekerja.
Ini yang paling menyenangkan; tidur seharian, leyeh-leyeh di atas
tempat tidur, malas mengunjungi tempat wisata yang selalu ramai dan membuat
pusing kepala.
Nai sangat kesal jika sudah bersiap-siap pergi dan aku masih mengumpet
di balik selimut. Dia akan menarik selimutku dan aku akan menariknya kembali
menutupi seluruh tubuhku. Terkadang, dia menyibak sedikit saja, membuat satu
kakiku menyembul di ujung selimut. Dia akan mengelitiki telapak kakiku,
menarik-narik jemariku dan jika upaya tak berhasil, dia menarik kakiku dengan
kasar.
Yang paling menyebalkan, jika Nai membuka jendela dan membiarkan sinar matahari
pagi yang menurutnya hangat dan menyehatkan itu, yang menurutku sangat
mengganggu dan merusak tidurku, masuk melalui jendela. “Kalau cuma mau tidur,
mending di rumah aja, nggak perlu pergi jauh-jauh,” umpatnya kesal.
“Kamu yang memaksaku pergi liburan. Aku cuma butuh tidur.”
“Jadi merasa terpaksa? Yasudah. Tidur aja sana atau pulang sekalian,”
suaranya sedikit meninggi ketika mengatakan itu. Duduk di ujung kasur,
membelakangiku.
Ini bukan strategi baru, Nai kerap melakukannya jika aku malas beranjak
dari tempat tidur atau malas melakukan aktivitas di luar ruangan. Bodohnya,
meski aku tahu ini hanyalah trik agar membuatku bangun, tetap saja aku
mengikutinya. Nai tahu, sangat tahu, aku tak bisa melihatnya bersedih. Dia tahu
aku sangat mencintainya dan trik ini, meski diulang berpulh-puluh kalipun tetap
saja mempan terhadapku.
Aku memeluknya, mencium rambutnya dan berjalan menuju kamar mandi. Ekor
mataku menangkap senyuman di bibirnya. Senyum jail.
“Nggak mandi?” tanyanya ketika
aku keluar dari kamar mandi dan hanya cuci muka.
“Ini perintah juga?”
“Nggak hehehe.”
Tujuan wisata, tempat makan dan segala hal yang berkaitan dengan
liburan kuserahkah ke Nai. Aku tidak memiliki rencana satu pun. Aku membiarkannya
memilih tempat-tempat yang disukainya dan aku mengekor di belakangnya. Satu-satunya
yang ingin kukunjungi hanyalah kedai kopi. Kepalaku butuh kafein agar bisa
bekerja dengan normal. Dari sekian banyak tempat yang dikunjungi, Nai memberiku
waktu menghabiskan satu hingga dua jam di kedai kopi.
Kupikir ini kesepakatan yang adil. Nai bahagia mengunjungi
tempat-tempat yang disukainya, aku bahagia menemukan segelas kopi yang nikmat
dan kita bahagia bisa melakukannya bersama-sama. Apalagi yang kurang dari
melihat orang yang amat kamu cintai duduk di sebelahmu sambil tersenyum dan
berbagi tawa bersama, kurasa tidak ada.
# # #
Aku terbangun, dipaksa bangun oleh denyut kepala yang tidak berhenti. Belakangan,
sakit kepala lebih sering hadir daripada ucapan selamat pagi dari orang yang
kucintai. Kaki kiriku menyembul dari ujung selimut.
Tidak ada yang mengelitikinya, tidak ada yang menarik satu per satu
jemariku, tidak ada yang menariknya paksa keluar dari balik selimut. Tidak ada
yang membuka jendela dan membiarkan cahaya matahari masuk. Tidak ada yang
merengek dan memasang wajah kesal di ujung kasur sambil membelakangiku. Tidak ada
yang kupeluk petama kali ketika kuterjaga. Tidak ada yang kucium rambutnya
sebelum kakiku melangkah menuju kamar mandi untuk sekadar sikat gigi dan cuci
muka.
Kehadiran Nai sebagai kekasih hanya ada dalam kepalaku,
kepingan-kepingan masa lalu yang sering diputar di kepalaku dan aku
menyaksikannya sambil beharap bisa memilikinya sekali lagi. Di kehidupan nyata,
kehadirannya tak lebih sebagai seorang mantan kekasih, sebagai teman lama yang
ingin berbagi cerita.
Tidak ada Nai di sampingku, bahkan di hari-hariku kini.
0 comments:
Posting Komentar