Ketika sedang asik mendengarkan musik, ditemani rokok dan kopi, satu
tokoh menghampiri kepalaku. Menceritakan kisah hidupnya yang pilu, yang belum
pernah diceritakannya kepada siapa pun. Tokoh ini rupanya kesepian atau memilih
sepi, toh memilih menyendiri bukan hal buruk meski tetap saja rasa kesepian
akan mampir sesekali. Manusiawi.
Namun, yang tak kusuka dari tokoh ini ketika dia mulai mendikteku. Memintaku
menuliskan kisah hidupnya yang tidak sesuai dengan perjalanan hidupnya. Selipkan
beberapa kebahagiaan dalam kisahku, pintanya. Permintaannya kutolak. Jika kamu
tak bahagia, kenapa harus berpura-pura atau mengapa ingin terlihat bahagia. Bukankah
itu melelahkan, kataku.
Setidaknya, buatlah akhir bahagia,” rengeknya dalam kepalaku.
Kuusahakan, hanya itu jawaban yang bisa kuberikan kepadanya. Dia mulai
menuturkan kisah sedihnya. Aku mendengarkan dan sesekali mencatat agar tidak
lupa. Tokoh ini kuberi nama Raka, aku bosan menggunakan nama karakter ‘lelaki
itu’.
Raka menutup
komputer jinjingnya. Brengsek, umpatnya. Bukan untuk siapa-siapa, untuk dirinya
sendiri. Dia merasa begitu brengsek, begitu kalah dengan hidup. Kehilangan
kekasihnya tiga minggu lalu dan berujung kehilangan pekerjaan seminggu lalu. Meratapi
hidup, menikmati luka, merayakan kehilangan orang yang dicintainya dengan
mengurung diri di rumah selama dua minggu membuatnya dipecat dari pekerjaan.
Dan
brengseknya, kehilangan pekerjaan membuat pikirannya hanya berfokus pada satu
hal, patah hati.
Brengsek,
umpatnya sekali lagi. Bukan untuk dirinya, untuk hujan yang turun semakin deras
dan membuatnya tertahan di kafe. Rokoknya tersisa sebatang, tak akan cukup
menemaninya hingga hujan reda. Hujan, tidak ada kesibukan, tertahan dalam
suasana hujan, perpaduan sempurna untuk memikirkan masa lalu. Dia berusaha
menepisnya, tetapi tarikan kuat kenangan tak mampu dia tahan.
“Boleh pinjam
korek?” suara peremuan itu menarik kaki kanannya yang melangkah ke rumah
kenangan. Raka senang, seseorang menyelamatkannya dari ingatan yang
menyedihkan. Dia menyodorkan korek ke perempuan itu.
“Nunggu hujan
reda atau lagi asik bengong?” tanya perempuan di hadapannya.
“Nunggu
hujan,” jawab Raka. Tanpa sadar, dia merasa terhipnotis dengan perempuan di
hadapannya. Caranya berbicara, caranya mendengarkan, topik-topik ringan yang
menyenangkan, membuatnya lupa akan patah hati dan stress kehilangan pekerjaan.
“Kamu pernah
selingkuh?”
“Syarat
selingkuh itu harus punya pasangan. Aku tidak menjalin hubungan dengan siapa
pun, jadi tidak bisa.”
“Menjadi
selingkuhan?”
“Itu lebih
sulit lagi. Aeseorang biasanya mencari selingkuhan untuk mencari yang tidak dia
temukan di pasangannya. Aku tidak memiliki apa-apa.”
“Tapi aku
menemukannya di diirimu. Kamu teman ngobrol yang menyenangkan. Mau selingkuh
denganku. Maaf, kukoreksi, mau jadi selingkuhanku?”
Raka berdiri.
Hujan belum reda benar, tetapi hatinya bergemuruh, rasa marah memenuhi hati dan
kepalanya. Aku tahu sakitnya diselingkuhi, aku tidak mau menjadi selingkuhan
orang lain. Kamu salah orang, ucapnya sambil beranjak pergi. Perempuan itu
menahannya, memegang lengannya dan menyelipkan kartu namanya di saku kemeja
Raka. Jangan salah paham, kita hanya bersenang-senang, ucap perempuan itu dan
melepaskan pegangannya dari Raka.
Tokoh di kepalaku mulai berteriak, makian dan cercaaan ditujukannya
kepadaku. Aku mulai terganggu dengan suaranya. Sejak awal sudah kukatakan, aku
menulis apa yang kuinginkan, jangan mendikteku.
“Tapi, kamu berjanji menyelipkan bahagia dalam kisahku. Seharusnya diterima
saja,” katanya. Dia mondar-mandir di kepalaku, seperti seorang suami yang
tegang menunggu persalinan istrinya. “Apa salahnya pria yang patah hati dan
kesepian menjadi selingkuhan, sekadar menghilangkan rasa sakit,” tambahnya.
“Sebentar, ini belum ending. Masih ada lanjutannya, diamlah dan
jangan berisik di kepalaku,” gertakku dan tokoh ini diam menunggu kisahnya
dilanjutkan.
Raka membolak-balikkan
kartu nama di tangannya. Sebagian dirinya ingin menghubungi perempuan tu,
sebagian lagi menolak. Alasan putusnya hubungannya dengan kekasihnya karena
perselingkuhan dan dia tidak ingin menjadi tokoh yang menyebabkan putusnya
hubungan orang lain. Namun, kesepian datang lebih sering dari biasanya. Membuat
kepalanya kacau, membuatnya tertekan. Dan tangannya memencat nomor yang tertera
di kartu nama itu. Mereka sepakat bertemu esok hari.
Pertemuan
pertamanya sebagai orang ketiga, berlanjut ke pertemuan-pertemuan berikutnya. Rasa
sakit yang dideritanya berangsur-angsur hilang. Raka mulai membuat kesimpulan,
satu-satunya yang membuatnya ingin kembali menjalin hubungan dengan kekasihnya
karena kesepian. Cinta mungkin sudah hilang, hanya menyisakkan rasa sayang. Perasaaan
yang diperuntukkan bagi seorang mantan, bagi teman.
Pada pertemuan
kesepuluh, perempuan itu memintanya datang ke apartemennya. Di sanalah mereka
bertemu. Tidak ada lagi ciuman curi-curi di tempat ramai. Tidak ada lagi
pelukan singkat di tengah ruang publik. Ciuman panjang, pelukan panjang dan
mereka menuntaskan apa yang harus dituntaskan dua orang yang terkurung dalam
satu ruang .
Ternyata
menyenangkan menjadi selingkuhan, kau tak perlu meributkan banyak hal. Tidak
perlu pusing memikirkan banyak hal, tetapi kau menikmati pelukan dan ciuman
panjang, ucapnya dalam hati. Dia mengenakan pakainnya kembali. Duduk di ujung
ranjang, menatap perempuan yang tengah duduk dan menutup tubuhnya dengan
selimut.
“Ini
pertemuan terakhir kita, anggap saja sebagai hadiah telah menemaniku mengobrol
beberapa waktu.” Perempuan itu tersenyum kepadanya.
“Kenapa
terakhir?”
“Aku akan
menikah bulan depan. Selama ini, aku selalu bertanya, apa yang membuatku
bertahan dnegan kekasihku. Aku mencari jawaban dari banyak orang, salah satunya
kamu. Dan setelah beberapa selingkuh, aku menyadari, tidak ada yang bisa
menggantikan posisi pasanganku.”
“Kamu
mempermainku. Menjadikanku kelinci percobaanmu.”
“Ayolah,
jangan sensitif gitu. Kamu menikmatinya kan, apa salahnya. Toh, kita tidak
pacaran.”
Raka pulang dengan
perasaan kesal. Luka yang dianggapnya telah mengering ternyata masih
menyisakkan borok di hatinya. Kini, luka itu bertAmbah lagi. Luka dari seorang
perempuan yang menjadikannya budak dari permainannya. Hujan turun lagi, tak
hanya dirinya yang basah, hatinya ikut basah.
Suara itu lagi, rengekan itu lagi. Tokoh di kepalaku tak henti-hentinya
menggerutu. Memintaku menuliskan akhir bahagia dari kisahnya. Dia, seperti
orang-orang kebanyakan yang lupa bahwa sebuah cerita, hanyalah satu fase dalam
kehidupan. Bisa berakhir bahagia, bisa duka. Toh, hidup masih berlanjut, kisah
masih terus dituliskan.
Kuusir tokoh cengeng itu dari kepalaku. Melanjutkan ibadah ngopi dan
musik.
0 comments:
Posting Komentar