aroma perpisahan


Berlebihan jika kukatakan langit pagi tadi mengerti perasaanku yang sedang kalut dilanda rasa takut kehilangan. Belakangan, hujan lebih sering datang tanpa pernah absen sehari pun. Hujan, seperti seorang murid baru di sekolah, belum berani meninggalkan pelajaran dan selalu datang tergesa-gesa.
Sambil menyandarkan tubuh pada kursi, melorotkan kaki, kutatap awan hitam tipis bergerak perlahan. Aku selalu suka hal-hal yang berbau muram, seperti langit mendung yang berhasil membuatku tersenyum. Di antara kesedihan-kesedihan yang melingkupiku, selalu ada hal kecil yang mampu menarikku sejenak dari kesedihan yang kurasakan. Hingga kumengalihkan pandangan pada sosok perempuan di sampingku, hal kecil itu kembali sirna.
Dari sekian banyak waktu yang kita punya, pertemuanku dengannya akan berlangsung sangat singkat. Sebelum dia kembali pada kesibukannya, sebelum kukembali ke ruang sunyi. Sebelum kami melepas peluk dan mengucapkan kata pisah.
“Apa yang membuatmu senyum-senyum?” tanyanya tanpa mengubah posisi duduknya. Menatap langit yang sama, entah memikirkan apa.
“Awan hitam yang bergerak pelan. Aku mencium sesuatu,” jawabku.
“Bau apa?”
“Aroma perpisahan.”
Perempuan di sampingku tersenyum. Senyum kecut yang tidak dapat kuartikan, tidak kupahami.
Jatahku habis, waktuku dengannya kandas sudah. Dia meraih ransel, berjalan menuju bus yang akan mengantarkannya ke tempat tujuannya. Aku membuntutinya di belakang, memerhatikan punggungnya. Aku ingin mengingat bagaimana dia berjalan, mengingat rambut panjangnya yang diikat satu, mengingat rajah di lehernya, mengingat semua hal tentangnya. Sebelum kami benar-benar berpisah dan mungkin tak lagi bertemu.
Kami berpelukan. Bagiku, hari ini adalah pelukan terakhirku sebagai kekasihnya. Setelahnya, jika kami bertemu, pelukan hanya sebuah sapaan sebagai teman lama, tidak lebih. Baginya, aku tak tahu, tidak ingin tahu. Apa yang dipikirkannya, biarlah menjadi urusannya. Aku tak ingin lagi memintanya berbagi rasa denganku. Aku mencukupkan diriku sebagai seseorang yang selalu menerima kehadirannya. Kapan pun dia datang, aku menerimanya. Sebaik dan seburuk apa pun keadaannya.
Hati-hati, Sayang, ucapku dalam hati. cukup dalam hati.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar