Seseorang mengirimiku surat eletronik. Dalam pesannya, dia mengatakan
mengetahui alamat e-emailku dari blogku yang sering dia kunjungi. Membaca tulisanmu,
seperti membaca diriku sendiri, katanya. Jika kukatakan kepadanya,
tulisan-tulisan di dalamnya hanya imajinasiku dan hanya melibatkan lima persen
kenyataan dalam hidupku, dia pasti kecewa. Maka, dalam surat balasan yang
kutulis untuknya, aku mengatakan terima kasih telah meluangkan waktu membaca
tulisan-tulisanku dan berharap dia lebih sering berkunjung ke sana.
Pesan kedua datang sehari setelah pesan balasan kukirimkan kepadanya. “Secangkir
kopi untuk teman baru. Bisakah kita bertemu?” tulisnya dalam pesan singkat itu.
Aku tak membalasnya, tidak memiliki keinginan untuk membalas pesannya
lagi. Sebagai seseorang yang memilih tokoh sepi di dalam cerita hidup yang
brengsek ini, aku tidak mengizinkan diriku sering terlibat dalam pertemuan
dengan tokoh-tokoh lain. Aku telah menentukan peranku sendiri, bagianku
sendiri.
Peranku dalam kisah ini, menghabiskan banyak waktu di rumah, tepatnya
di dalam kamar. Membaca buku, sesekali menulis, minum kopi dan menghisap
berpuluh-puluh batang rokok. Aku sengaja membeli beberapa bungkus rokok sekaligus,
guna meminimalisir perjumpaanku dengan orang lain, meskipun hanya penjual
rokok. Meminimalisir perjumpaan dan sapaan dari orang lain adalah karakter yang
sejak lama kubuat dan aku tidak ingin mengkhianati karakterku sendiri.
Namun, aku sesekali meluangkan sedikit waktu untuk bertemu dengan orang
lain. Bagaimanapun, tokoh yang sedang kuperankan ini membutuhkan sedikit
bumbu agar cerita di dalamnya tidak hambar. Maka, dalam satu bulan
kusempatkan sekali bertemu dengan teman-temanku, yang nyatanya semuanya sibuk –
semua itu hanya lima orang jumlahnya- dan kami tidak bisa berkumpul hari itu.
Lalu aku teringat pesan dari seseorang yang sudah kuacuhkan sekian lama.
Sore ini, pukul lima di kedai kopi Tebet?” balasku.
Tidak sampai lima menit, pesan darinya masuk dan mengatakan oke. Dia menambahkan,
sore nanti dia akan menggunakan parka hijau lumut, jeans hitam dan kacamata. Dia
juga menanyaiku pakaian apa yang kugunakan sore nanti, meminilisir kesalahan
menyapa orang. Aku menggunakan kaus hitam polos dan jeans biru dongker. Aku juga
pakai kacamata, kataku.
Aku tiba di kedai pukul lima kurang lima belas menit. Duduk di pojok
ruangan, satu-satunya tempat yang tersisa. Sebuah meja kecil dan dua bangku
kayu. Aku memesan americano. Belum genap sepuluh menit pesananku sampai,
seorang perempuan duduk di hadapanku. Meminjam korek dan menyulut rokok
mentolnya.
Aku merasa tidak perlu basa-basi berkenalan dengannya, toh kami sudah
saling sapa memalui surat elektronik. Yang membuatku sedikit bingung, perempuan
di hadapanku tidak menggunakan parka hijau, jeans hitam dan berkacamata. Dia menggunakan
kaus lengan panjang putih bergaris-garis hitam. Akh, mungkin dia terlalu
khawatir dengan penampilannya sehingga mengubah penampilannya untuk bertemu
denganku, kataku dalam hati, berusaha menghalau kebingunganku sendiri.
Dalam benakku, perempuan yang akan kutemui sore ini adalah perempuan
yang rapuh. Perempuan yang akan berbagi kisah sedih hidupnya karena merasa
memiliki cerita yang mirip denganku. Tebakanku salah. Perempuan di hadapanku
sering tersenyum, bahkan tak jarang tertawa lebar, tidak ada beban, seperti
tidak ada kesedihan yang disembunyikan.
Barangkali, perempuan ini berpura-pura tidak bahagia atau justru dia
sangat mahir menyembunyikan ketidakbahagiaannya itu. Setelah dua jam mengobrol,
dia pamit karena ada urusan yang harus diselesaikan. Selama obrolan, dia tak
pernah sekalipun menyinggung soal tulisanku. Mungkin dia bisa membaca kapan
saja sehingga tak perlu membahasnya ketika bertemu denganku. Dia juga mengucapkan
terima kasih telah menemaninya mengobrol selama dua jam itu.
Sebuah surat elektronik mendarat di inbox. Pesan darinya. “Aku
tidak memiliki keberanian menghampirimu, kuputuskan melihatmu dari jauh sambil
menyiapkan hatiku yang berdebar dengan kencangnya. Ternyata, begini rasanya
bertemu dengan seorang idola. Namun, ketika keberanianku datang, seseorang
datang dan duduk di hadapanmu. Kupikir, kamu menjanjikan waktu pertemuan ini
hanya untukku, ternyata kamu mengajak orang lain juga. Kuputuskan pulang saja
dan tidak ingin lagi bertemu denganmu. Cukup membaca tulisanmu saja. Tidak
perlu bertemu,” tulisnya.
Aku tidak membalas pesannya, tidak memiliki cukup energi untuk
menjelaskan kepadanya perihal yang terjadi barusan. Aku juga menyadari, di luar
sana, ada orang-orang sepertiku. Tokoh sepi yang berusaha menarik jarak dalam
pertemuan-pertemuan dengan karakter lain. Mencukupkan diri bertemu dengan beberapa
karakter lain yang disebut teman dan berupaya sebisa mungkin menghindari bertemu
karakter asing.
Meski kenyataannya, selalu ada hal-hal yang tidak terduga dalam hidup
ini. Seperti pertemuanku dengan perempuan tadi, tokoh asing yang tiba-tiba
datang dan menemaniku mengobrol panjang.
Di bungkus rokoku, masih tersisa beberapa batang. Cukup untuk
menemaniku menghabiskan secangkir lagi americano. Kita lihat saja, setelah ini
apakah ada tokoh asing lainnya atau tidak.
0 comments:
Posting Komentar